Sunday, January 9, 2011

Kisah Dia...................

The Legend of Rive’S Day

Jumat pagi, 7 Agustus 2009 adalah pagi yang cukup cerah, angin senantiasa bertiup sepoi-sepoi, dan menambah semangat untuk beraktivitas. Siswa-siswi di daerah Boyolali mulai menuju ke sekolahnya masing-masing.
Namun pagi itu, seakan membuat kelas XII IA 2 terbanjiri air mata. Tak ada sedikitpun senyum yang menyapa dari penghuninya. Ruang yang senantiasa diramaikan oleh gelak tawa dan canda, kini dibungkam oleh duka. Duka yang tak pernah terduga, duka yang tak pernah diharapkan, tiba-tiba datang merenggut kebahagiaan. Kesedihan yang dibungkus dalam sepotong pesan singkat secara estafet, melemahkan semangat hingga lubuk hati paling dalam. Mungkin memang seperti ini, rasanya kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup.
Dia adalah sang pujangga. Tak sedikit hal-hal yang ia perbuat membuat kami bangga. Dia tak hanya seorang punjangga, tapi dia juga taat dalam beragama. Meskipun bukan juara, tapi dia selalu rajin berusaha. Dia juga bukan orang ternama, tapi tak sedikit orang yang mengenalnya. Memang begitu sulit untuk tidak menganggapnya sebagai seorang sahabat yang tak pernah hilang dari ingatan.
Dalam dunia kias, dia begitu ternama. Karena puisi-puisinya tak pernah terhindar untuk dimuat di majalah sekolah. Tak sedikit juga sahabat-sahabatnya yang menyukai karyanya. Dalam dunia Kerohanian Islam (Rohis) Sekolah dia tak kalah penting. Karena dia menjabat sebagai Ketua I organisasi. Selain itu, dia juga seorang ikhwan yang dianggap berpengetahuan paling dalam tentang islam, di kelas.
Dia begitu ramah, tak pernah ada raut murung terekspresi dari wajahnya. Dia juga bagitu dicintai oleh banyak guru karena selalu patuh. Tak hanya teman-temannya yang menyayanginya, tapi juga saudara-saudara seperguruannya. Diapun seakan tak pernah punya musuh, bahkan dia berprinsip untuk tidak mempunyai pacar.
“Rive Expression”, dia menamai karya-karyanya dalam berekspresi. Hingga kami semua tahu bahwa Rive adalah dia. Meski itu bukan nama aslinya. Nama itulah yang membuat kami semua semakin mudah untuk mengingat dirinya. Karena nama itu, adalah nama sapaan untuk dia dari sahabat-sahabatnya.
Suatu pagi pada hari Kamis, 6 Agustus 2009. Dia berulang tahun dan genap berusia 17 tahun. Ucapan-ucapan selamat ulang tahun pun menggenangi inbox di handphone-nya dan wall di facebook-nya. Tak kusadari, ternyata diriku pun lupa menyelipkan doa “panjang umur” untuk dia. Tapi kurasa, itu berjalan secara otomatis sebagai firasat yang terlambat kusadari.
Namun pagi itu, kondisi kesehatannya kurang baik. Alhamdillah-nya, dia sedang berpuasa sunnah. Hari itu juga tepat diselenggarakannya salah satu bagian acara ulang tahun sekolah yang di percayakan pada Rohis Firman. Sebenarnya dia berperan penting, tapi dia tidak bisa bekerja meksimal karena kondisinya kurang sehat. Namun acara disekolah masih tetap bisa berjalan lancar.
Senandung-senandung religi yang dilantunkan oleh Group Nasyid asal Surakarta, begitu mendamaikan jiwa. Tak ketinggalan bapak Kepala Sekolah pun ikut melantunkan senandung-senandung nan anggun. Hingga seorang Rive pun menyerukan potongan lagu religi dalam status facebooknya. Dan kami semua tak pernah menduga, bahwa status itu, akan menjadi status terakhirnya.
Sebelum waktu Dzuhur tiba, acara di sekolah pun berakhir. Penghuni sekolah pun siap untuk meninggalkan sekolah. Namun ada juga sebagian siswa-siswi yang menantikan waktu Dzuhur di masjid sekolah.
Waktu terus berjalan, hari pun semakin sore. Hingga malam tiba, tak ada kabar apapun dari teman-teman sekolah. Namun pada detik-detik menjelang istirahat, kami semua tercengang di rumah kami masing-masing. Kabar dari sepotong sms yang menyatakan bahwa Rive telah kembali kepada Sang Pecipta. Mata yang tadinya tak tertahankan, kini berubah menjadi hawa insomnia.
Ketidak percayaan menggenang dalam benakku. Setelah pagi tiba, informasi tentang penyebab meninggalnya Rive akhirnya ku dapatkan. Kemarin, menjelang maghrib dia mengalami kecelakaan. Dua rumah sakit menolak untuk menolongnya. Hingga akhirnya, ketika pihak rumah sakit ke tiga hampir menolongnya...........!?!?!? Innalillahi wa Innailaihi raji’uun.... Malaikat maut lebih dulu menjemputnya.
Kesedihan menjalar di seluruh penjuru. Tak hanya di sekolah, tetapi seluruh pihak yang mengenalnya juga merasa kehilangan. Dan pujangga XII IPA 2 hilanglah sudah. Hanya tinggal sebuah karya yang dapat kami nikmati. Satu hal yang tak pernah kami lupa, bahwa dia meninggal tepat pada saat hari ulang tahunnya yang ke 17. Mungkin memang itu yang terbaik untuknya, dan insyaallah puasa sunnahnya membawanya pada jalan yang syahid...... amiiin.....

My Short Story

LEMBARAN – LEMBARAN MASA LALU

Keramaian begitu kasat oleh mata, ketika para perantau akan menuju ke kampung halaman. Hal itulah yang terjadi di stasiun Balapan Solo. Terlihat seorang pemuda arif, berbondong – bondong membawa serta barang – barang yang begitu banyak. Begitu sibuk ia mengeluarkan tas ransel dan koper dari kereta api.
Pagi itu, matahari tersenyum dengan ramah. Angin yang semilir pun berjalan menghampiri pemuda itu. Rasa lelah, setelah perjalanan semalam pun lari seketika. Pemuda itu begitu antusias untuk kembali ke kampung halaman yang telah ia abaikan selama belasan tahun. Sambil menopangkan punggung, ia beristirahat sejenak sembari menghapus dahaga dengan beberapa teguk air mineral. Ia mencoba menenangkan pikiran sejenak. Anehnya, semenjak ia menempatkan sebuah tas dipunggungnya, dia belum pernah melepas tas itu. Entah apa arti tas itu baginya.
“Riz … Fariz … !!!” tiba – tiba terdenga suara laki – laki. Suara tersebut mengusik ketenangan pemuda itu.
“Bapak …!!” pemuda itu menyapa laki – laki yang berteriak tadi, ternyata laki – laki itu adalah bapak dari pemuda itu, yang datang untuk menjemputnya. Pemuda itu bernama Fariz.
Fariz dan bapaknya pun bergerak menuju mobil tua yang tadi dikendarai oleh bapak Fariz. Mereka berjalan perlahan, dan Fariz pun tetap pada tas ransel dipunggungnya. Perlahan mereka membuka pintu mobil, kemudian memasukkan barang-barang Fariz ke dalam mobil, mereka pun masuk ke dalam mobil, namun ransel Fariz kini berubah posisi, yaitu ke pangkuan Fariz. Mobil pun melaju perlahan keluar dari halaman stasiun.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya bapak Fariz melakukan interogasi tentang kehidupan Fariz di Bandung setelah ditinggalkan oleh orang tuanya pulang ke kampung halaman sejak dua tahun yang lalu. Fariz pun menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh bapaknya dengn tutur kata yang halus dan sopan. Sembari membuka-buka isi ransel, percakapan mereka pun terus berjalan seiring berputarnya roda mobil yang mereka kendarai. Tetapi, kesibukan Fariz terhadap isi ransel, membuat bapak Fariz bertanya-tanya.
Akhirnya, percakapan mereka menjurus kepada ransel Fariz tersebut. Salah satu harapan Fariz pulang ke kampung halaman adalah agar dapat bertemu dengan seseorang yang erat sekali hubungannya dengan isi ransel tersebut.
Pesan – pesan, amanat dan harapan-harapan secara tersurat berada dalam ransel itu. Isi dari ransel itu, terkumpul sejak belasan tahun silam, dan Fariz masih menyimpannya dengan rapi. Kini dia bawa ke kampung halaman dengan ransel khusus. Harapan yang penuh dari seorang Fariz terhadap seorang Aidha. Fariz selalu berjanji akan menemui Aidha suatu saat. Meskipun mereka telah terpisah jarak, namun komunikasi mereka tetap berlanjut hingga kini.
Tak terasa, di tengah perjalanan terjadi kemacetan. Ada kecelakaan lalu lintas di perempatan jalan. Padahal, tanpa kecelakaan pun, jalur lalu lintas sudah macet. Maka mereka harus menunggu dalam waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya, Fariz memutuskan untuk mampir ke pasar sebentar membeli buah – buahan untuk ibunya. Di depan pasar, tiba-tiba dengan tidak sengaja, Faariz menabrak seorang gadis yang dengan anggun mengenakan jilbab, hingga belanjaan gadis itu terjatuh.
“Maaf… maaf… !! saya tidak sengaja”, permintaan maaf Fariz terhadap gadis itu.
“Tidak apa-apa kok mas”, jawab gadis itu dengan suara lembut dan penuh keikhlasan.
Fariz membantu gadis itu mengambilkan belanjaan yang jatuh. Dengan ucapan terima kasih dan permisi, gadis itu berlalu. Namun seketika itu, bayangan Fariz akan Aidha, hilang begitu saja. Fariz begitu kagum akan kecantikan paras gadis itu. Dia pun melanjutkan perjalanan untuk membeli buah – buahan. Setelah kembali ke mobil, nampaknya kemacetan mulai reda. Fariz dan bapaknya melanjutkan perjalanan mereka kembali.
Setelah mereka tiba di area kampung halaman, Fariz kembali teringat akan Aidha. Ia melihat sebuah masjid yang berdiri kekar di ujung desa. Fariz ingat bahwa dulu, masjid itu adalah sebuah surau kecil yang biasa ia tempati untuk mengaji bersama teman-teman kecilnya, termasuk Aidha. Sekilas membuat Fariz terjerumus kedalam sepotong episode masalalunya. Ia terkejut karena kini sudah disulap menjadi masjid yang megah.
Area persawahan yang luas, dengan padi yang melambai-lambai, dan warna hijau bak zamrud khatulistiwa, menghiasi pandangan Fariz. Persawahan itulah tempat bermain Fariz bersama Aidha waktu kecil. Harapan akan Aidha pun semakin lekat dalam pikirannya. Ia pun tidak sabar untuk menghampiri Aidha ke rumahnya. Hingga tak terasa perjalanan Fariz dan bapaknya usai. Merekapun tiba di rumah. Fariz segera masuk untuk menemui ibunya.
“Assalamu’alaikum … “, ucap Fariz.
“Wala’ikumsalam …”, jawab ibu Fariz.
Ibu Fariz menyambut kedatangan Fariz dengan hati gembira. Karena Fariz adalah anak sematawayang mereka. Fariz langsung mencium tangan wanita yang telah mengandung dan melahirkannya. Pintu kamar pun ia buka. Tanpa rasa sungkan, ia merebahkan raganya pada sebuah ranjang dengan sehelai pulau kapuk diatasnya. Sesekali, dia teringat akan masa kecilnya bersama Aidha. Tetapi sesekali, gadis yang ia temui di pasar tadi pagi mampir dalam pikiran Fariz. Karena rasa lelahnya, tak terasa ia pun tertidur pulas, hingga sesuatu mengusiknya.
“Assalamu’alaikum … Pak Chasan …”, terdengar suara seorang lelaki dari mulut pintu memanggil nama bapak Fariz.
“Wa’alaaikumsalam ….”, jawab Pak Chasan.
Ternyata lelaki itu adalah Pak Amin, orang yang datang untuk meminjam pompa ban sepeda motor. Pak Amin adalah pakdhe dari Aidha. Mengetahui bahwa yang datang adalah Pak Amin, Fariz bergegas keluar dari kamar. Tanpa enggan ia pun menanyakan tentang Aidha. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi murung seketika. Entah apa yang terjadi. Ternyata, Pak Amin mengabarkan bahwa Aidha dan keluarganya sudah pindah tempat tinggal sejak tiga hari yang lalu. Seketika itu juga, wajah Fariz kembali sumringah, karena Pak Amin memberitahukan bahwa beliau akan berkunjung ke rumah Aidha hari itu.
Fariz bergegas menggerakkan awaknya ke kamar. Kemudian dia menjereng sehelai kertas di atas meja. Sembari menggoyangkan pena, ia pun menulis pesan untuk Aidha. Karena Fariz bermaksud menitipkan surat untuk Aidha kepada Pak Amin.
Kata demi kata terangkai dengan penuh makna. Namun makna dari surat Fariz kali ini, lain dengan surat terakhir yang ia kirim untuk Aidha tiga hari yang lalu. Biasanya, Fariz menulis surat dengan penuh keyakinan, seakan hatinya hanya tertuju kepada Aidha. Tetapi surat kali ini, penuh dengan kebimbangan. Ia seakan tidak yakin bahwa Aidha akan setia menunggu sampai Fariz datang. Padahal, selama ini mereka saling surat menyurat dengan penuh keyakinan dan kepercayaan. Mungkin memang kecantikan gadis yang ia jumpai tadi pagi telah mencemari pikirannya.
Surat yang Fariz tulis, kini melaju bersamaan dengan sepeda motor yang membawa Pak Amin ke rumah Aidha. Tak lama setelah itu surat pun hinggap ke telapak tangan Aidha. Dibukanya surat tersebut, dan mengalunlah bibir Aidha membaca surat dari Fariz. Setelah surat itu di baca, kejanggalan pun tertuju pada Aidha. Aidha sesegera mungkin mengambil secarik kertas dari tumpukan di meja kamarnya, dan dibentangkannya kertas tersebut. Seiring berjalannya pikiran Aidha akan jawaban untuk surat dari Fariz, pena yang ia pegangpun mulai menari-nari di atas helaian kertas putih yang diletakkan diatas meja. Pikirannya pun mulai tertuang untuk meyakinkan seorang Mas Fariz akan kebimbangannya.
“Aidha akan tetap menunggu Mas Fariz, jika Mas Fariz memang mau datang untuk Aidha. Penantian Aidha akan berakhir di batas waktu yang telah digariskan oleh Allah. Tetapi, jika Mas Fariz tidak bersedia datang, itu tidak masalah buat Aidha. Mungkin itu memang bukan jalan kita untuk bersatu. Aidha tinggal menunggu apa yang akan terjadi pada Aidha selanjutnya.”
Itulah penggalan dari surat Aidha, untuk membalas surat dari Fariz. Aidha mengungkapkan seakan-akan sesuatu hal akan menimpa Aidha.
Surat pun kembali melayang bersama Pak Amin dan hinggap ke tangan Fariz. Fariz membaca surat itu, dan pikirannya pun mulai kalut. Sebenarnya, Fariz sangat berharap pada Aidha. Namun sekali lagi, gadis di pasar tadi pagi terus membayanginya. Fariz pun bingung dengan surat dari Aidha dan dia tidak bisa menghapus kecantikan paras gadis itu dari pikirannya.
Adzan ashar pun berkumandang, memenuhi telinga-telinga umat Allah. Fariz pun terdiam sejenak. Setelah adzan usai, ia bergegas menuju tempat wudhu, kemudian shalat ashar. Setelah shalat, ia pun berdoa memohon petunjuk kepada Allah SWT. Tak lupa ia melantunkan ayat-ayat Allah dengan fasih dan merdu. Perasaannya pun mulai tenang. Pikirannya untuk melangkah ke depan dan menentukan keputusannya pun mulai terbuka.
Fariz mulai menyadari akan khilafnya. Sebenarnya, sejak dulu ia berprinsip untuk memandang dan mencintai seseorang bukan dari segi fisik. Melainkan dari hati. Selama belasan tahun, Fariz belum pernah melihat kondisi fisik dari Aidha, tetapi Fariz cukup mengenal Aidha sejak kecil, dan juga melalui surat-surat yang mereka tulis. Fariz menyadari bahwa ia belum mencintai gadis dipasar tadi pagi, melainkan hanya rasa kagum semata, akan kecantikan yang dianugerahkan Allah padanya.
Senja itu, matahari tampak hendak bersembunyi di balik gunung. Panorama orange melukis langit ufuk barat. Sawah yang hijau bermetamorfosis menjadi kekuningan karena refleksi matahari ke angkasa. Dengan mantap, Fariz melangkah kaki keluar melalui mulut pintu setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya. Suara motor mulai menggema, dan motor pun melaju kencang. Dengan bekal denah lokasi rumah Aidha dari Pak Amin, Fariz menuju rumah Aidha.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, kelajuan motor yang dikendarai Fariz berkurang. Perlahan ia menyusuri daerah tempat tinggal seperti pada denah. Fariz menemukan lokasi yang ia cari berdasarkan denah. Namun, dia tidak percaya jika itu rumah Aidha. Dikelilinginya lagi daerah itu hingga beberapa kali, namun hasilnya sama. Rumah itulah tujuan Fariz.
Dengan perasaan ragu, Fariz memarkirkan motor di halaman rumah Aidha. Dengan kebimbangan dan kecemasan pula, ia melangkah memasuki rumah itu. Kegalauannya muncul ketika ia mendapati bendera kuning yang mungil melambai-lambai karena tiupan angin, dan menancap di pagar depan. Ia terkejut ketika memasuki rumah, dan menemui keluarga Aidha. Semuanya ada, namun satu yang tidak ia dapati sedang duduk yaitu Aidha. Fariz mendapati jenazah Aidha terbaring di tengah ruangan dengan tertutup oleh selendang coklat dan putih. Ternyata, sore itu penyakit jantung yang diderita Aidha, menyerang tiba-tiba hingga Aidha meninggal dunia, setelah shalat ashar.
Tangis dan sesal, yang kini Fariz rasakan. Ia merasa terlambat datang untuk menemui Aidha, karena kebimbangannya. Harapan yang ia bina menjadi luka dan kegundahan dalam hati. Sesekali ia menatap ke dinding rumah Aidha. Fariz mendapat foto gadis yang ia temui tadi pagi di pasar. Ternyata, gadis itu adalah Aidha, orang yang menjadi harapannya. Rasa bersalah dalam dirinya pun semakin memuncak, kini Fariz tidak bisa berbuat apa-apa. Dua sosok yang ia pertimbangkan, dan membuatnya bimbang untuk memilih, hilang bersama. Seketika menjadi satu kesatuan. Tinggal penyesalan yang menjejal menyesaki rongga hati dan pikirannya.