Monday, September 26, 2011

KEINDAHAN ALAM: KEINDAHAN ALAM

KEINDAHAN ALAM: KEINDAHAN ALAM: keindahan Alam Betapa indahnya alam ini,,, Allah maha besar... yang telah menciptakan untuk makhluk di muka bumi ini......... Sudahkah kita...

Sunday, May 1, 2011

CERITA NEGERIKU . . . AKANKAH LEKANG OLEH WAKTU?

Cerita Rakyat (yg sebenarnya......^_^)

Lalu lalang peristiwa yang sedap, tak pernah menyurutkan semangat juangnya untuk terus berkarya dan mencari nafkah. Bersama semangat kebersamaan gerombolan burung kecil, ia tak kenal lelah dalam mencari tingkat kehidupan yang layak. Demi keluarga, demi hidup yang tidak pernah dianggap berharga oleh sebagian besar kaum dominan di luar sana. Mungkin memang melelahkan, dan menjenuhkan. Tetapi apa daya? Karena bagaimanapun juga, perjuangan harga diri adalah yang utama.
Negeri ini . . . , mungkin tak patut jika dikatakan “kejam”. Tetapi memang itu kenyataannya. Hampir tidak ada keadilan, bahkan terlalu berat sebelah dalam perlakuan terhadap rakyat-rakyatnya. Entah kemana keadilan itu? Atau memang ia bersembunyi dibalik tirai yang selalu dipuja-puja setiap kaum di seluruh penjuru. Yang mana tirai itu adalah harta. Harta memang indah, dan begitu mempesona, hingga para panutan pun tergila-gila pada harta. Tak peduli jabatan, pendidikan, atau apapun lah . . . , asalkan ada harta, ia menjadi utama.
Memang negeri ini kejam, tetapi tak menjadi penghalang lagi seorang bocah berusia 12 tahun dalam menjalani hidupnya. Pagi itu, ia beranjak dari tempat peraduannya yang selalu ia sebut dengan “Istana Kardus”. Perjalanannya pagi itu, beriring dengan sang mentari yang tersenyum riang, cahayanya yang tak surut, menyapu kabut dan awan hitam yang telah menumpahkan hujan sepanjang malam. Sebenarnya ia terheran, dengan hujan deras semalaman, tanpa sedikitpun istana kardusnya terkoyak. Tetapi, dengan senyum riangnya, ia bersyukur dalam hati atas kebesaran Allah SWT.
Rumah kardus itu, begitu berharga bagi dia dan orang-orang yang senasib dengannya. Dinding-dinding kardus yang telah mengayominya, bak perisai emas yang tak ternilai harganya. Kardus yang bagi sebagian orang hanyalah sampah, tetapi begitu berfaedah bagi bocah itu. Istana cokelat susu yang berhiaskan kertas berita, beratapkan secuil papan dan berlantaikan bumi yang begitu alami, selalu menampung keberasamaan mereka dalam suka dan duka, dalam tangis, maupun tawa. Karena prinsip mereka “Rumahku istanaku”.
Mungkin sulit untuk membayangkan. Pada logikanya, tidak mungkin ada rasa nyaman ketika kita harus hidup didalam rangkaian kardus. Telebih lagi mereka-mereka ayang berhunian pada gedung-gedung pencakar langit. Mungkin mereka bisa dengan gampang mengikrarkan bahwa “Kardus-kardus dan seisinya itu hanyalah sampah”. Mereka tidak pernah berpikir untuk hidup seperti mereka, padahal roda kehidupan tidak berhenti berputar sebelum kehidupan ini berhenti.
Sekali lagi tidak pada semangat bocah itu untuk surut atas hinaan. Baginya, hinaan itu hanya ujian, dan . . . . yah . . . . sebagai angina lalu saja lah . . . . karena jika di masukkan dalam hati, bawaannnya hanya meningkatkan emosi. Ia terus melangkah, mejauh dari huniannya yang elit (eling wong alit), yang artinya ingat orang kecil. Sandal karet tipisnya menjaganya dari tajamnya kerikil yang menghalang rintang di sepanjang jalan. Bersama kawan-kawan senasibnya, ia menyusuri jalur aspal yang telah hancur. Melawan arah angin yang berhembus dari pesisir selatan. Awan putih yang berbinar atas pantulan sang surya, menghiasi indahnya hari yang harus mereka arungi.
Berbekal kantong bekas permen dan instrument merdu karya sendiri, mereka mengadu bakat ditengah riuknya lalu lintas kota. Wajah-wajah polos mereka selalu bisa mempesona manusia-manusia berhati mulia. Tak ketinggalan senandung-senandung riang yang menggugah semangat, mereka lantunkan dengan indahnya. Hingga sebagian besar manusia yang mendengarkan, juga turut bergeleng-geleng seraya menikmati alunan musik tersebut. Dari sana, tak sedikit recehan yang mereka dapatkan.
Namun tak setiap saat mereka bernasib baik. Kadang nasib membawa mereka ke dalam lembah ketidak beruntungan. Hal itu terjadi ketika orang-orang yang mereka temui berrautkan akan kesinisan. Mereka justru orang-orang berharta banyak, tetapi miskin. Ketika bocah-bocah itu berdendang, para konglomerat bermobil mulus itu menutup rapat kaca mobil mereka. Itu masih mendingan, terkadang mereka menerima perolokan yang menyayat hati, atau bahkan cipratan ludah busuk terkadang tak segan untuk dibagikan. Yah . . . . namanya juga manusia-manusia “goleklemah” (golongan ekonomi lemah).
Tetapi nasib baik kali ini berpihak pada mereka. Senyum sapa dan keramahan memenuhi hari mereka. Hujan logam recehan tak segan mengguyur menyejukkan mereka. Pujian-pujian manispun terbesit dari manusia-manusia bersahaja. Mungkin memang hari ini, hari bersahaja. Merekapun selalu berharap tidak ada preman pasar yang menghampiri mereka untuk mengambil hasil jerih payah mereka.
Lagi-lagi . . . . ini Indonesia, dibalik rumah-rumah kardus, tersembunyi gedung-gedung pencakara langit yang kokoh, mewah, serta menawan. Eh . . . . sebaliknya dheng . . . . dibalik gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi rumah-rumah kardus. Sungguh kejam, negeri yang terlihat begitu eksotik, kaya, sukses dan mengangumkan, ternyata memiliki rakyat yang hidupnya jauh dari kelayakan. Tipu daya yang begitu nyata dan mengena. Sama seperti pejabat-pejabatnya, yang kelihatan arif dan bijaksana, tetapi hatinya tak lebih baik dari gumpalan tahu yang dikerumuni jamur-jamur Aspergillus Flavus, ringan tetapi mematikan. Huft . . . . , memang dalamnya hati, siapa tau?
Kali ini, gerombolan bocah-bocah itu berarak mengelilingi kota. Hitung-hitung cuci mata, dengan memandangi gedung-gedung bertingkat, dan barisan mobil-mobil mewah yang bernilai banyak ratus juta, dech . . . . ya . . . . meski tidak pada semua tempat mereka bisa berekspresi . . . . Asalkan mereka dapat mengembangkan senyuman, itu sudah menjadi hal yang begitu berharga. Buat mereka, juga buatku, yang hanya bisa merasa miris ketika memperhatikan mereka.
Kini, hiasan kilau fajar tua cukup menyengat pori-pori. Angin yang menyambar cukup kencang pun, tak terasa segar. Hanya tiupan angina panas yang menerpa mereka. Debu dan kepulan asap kendaraan berterbangan diudara dengan lincahnya. Refleksi radiasi matahari menambah kehangatan yang diluar batas. Hingga mata-mata telanjang mereka, tak kuasa menahan pupil agar tak mengecil. Namanya juga kota, sama sekali tidak ada sumber yang menyehatkan. Meski demikian, bocah-bocah itu tetap tidak menghentikan langkah mereka.
Hari sudah cukup terik, dan panas begitu terasa ke sanubari. Bocah-bocah itu kini bak bermandikan keringat. Mereka begitu tangguh, tak kenal lelah mencari nafkah hingga harus memeras peluh. Meski demikian, apakah para pengemuka-pengemuka negara tahu, atau peduli dengan keberadaan dan nasib mereka? Entahlah . . . .
Sebenarnya, mereka adalah bocah-bocah yang luar biasa. Sayang juga, jika keberatan mereka harus disia-siakan. Tanpa henti mereka melangkah, bermain musik, bernyanyi, dan yang pasti, bergembira.
Langkah demi langkah, mereka rangkai menelusuri jalan mulus yang begitu panas. Sembari memburu pepohonan rindang di tepi jalan yang dapat mengayomi raga mereka dari buruan radiasi matahari. Canda dan tawa mereka, menghapus kenyataan yang ada dalam hidup mereka. Tak ada gundah, dan penderitaan. Yang ada hanya kebahagiaan.
Dalam pelangkahan kaki mereka, mereka berpapasan dengan seorang nenek tua. Tepatnya pada sebuah taman kota, dalam keramaian. Nenek tersebut mejajakan es teh manis yang memikat selera. Karena kasihan, dan suasana begitu mendukung, mereka mengambil sebagian hasil usaha mereka untuk membeli es the. Nenek tersebut begitu bahagia, sembari berucap, “Terima kasih nak . . . . , semoga cita-cita kalian tercapai . . . . “. Kemudian nenek itu pergi.
Sembari melepas lelah, bocah-bocah itu menikmati es teh yang mereka beli dari nenek dengan bersandar di bawah pohon klengkeng yang rimbun. Angin semilir yang segar, tiba-tiba datang menghampiri mereka membawa kenyamanan. Tak sedikit orang-orang yang seprofesi dengan bocah-bocah itu, berada dalam satu lokasi. Selain itu, PKL (Pedagangn Kaki Lima) dan pedagang-pedagang lain yang segolongan, juga banyak membanjiri daerah itu. Entah, kenapa profesi mereka seperti itu. Ataukah semuanya memang karena faktor ekonomi, atau ada faktor-faktor lain? Begitu membingungkan buatku.
Di dalam gedung-gedung elok itu, tersimpan manusia-manusia penting. Harta melimpah, rumah bagus, mobil mewah, baju pun juga mahal. Tetapi, walau demikian, mereka masih merasa miskin. Kaya raya, bukan hal yang dapat menghapus sifat “Ketikusan” mereka. Ya . . . . bisa dibilang “Tikus berdasi”. Kaya, tetapi masih berjiwa “Maling”. Terlebih pada pejabat-pejabat Negara. Mereka tidak pernah berkaca terhadap sifat otoriter yang mereka punya. Begitu banyak aturan dibuat untuk rakyat, tetapi mereka berbuat laknat. Benar-benar “Bejat”.
Di sini, rakyat kecil berjuang mati-matian hanya untuk mengorek sesuap nasi. Ya . . . . sebisa mungkin mereka berusaha agar tidak menjadi kaum miskin absolute. Apa saja mereka lakukan, untuk menyambung hidup.
Sedangkan disana, para “Jaswan” & “Jaswan”, “Dasiwan” dan “Dasiwan” hidup berfoya-foya. Bahkan, modal foya-foya itu sebenarnya adalah hak rakyat kecil. Begitu tak bermoralnya bangsa ini. Maling besar-besaran tak kena pidana, sedangkan maling yang bisa diibaratkan sebesar Amoeba saja, bisa dibabakbelurkan. Kemana sudah tertular virus “Matre”?
Bocah-bocah kecil seusia mereka, harusnya dapat diberi kesempatan yang besar untuk menuntut ilmu. Tapi apa daya? Tak ada dana . . . .
Kabarnya, pendidikan dasar, ada dana dari pemerintah. Tetapi, kenapa masih banyak anak yang tidak dapat bersekolah? Lagi-lagi . . . ., entahlah . . . .
Negeri ini, memang porak poranda secara rohani. Tapi, biarlah . . . . , yang penting mereka “goleklemah” dapat beristirahat sejenak ditengah kesibukan mereka.
Dalam kedamaian, bocah-bocah itu beristirahat dan berangan tentang mimpi masing-masing. Pastinya, banyaklah mimpi anak-anak. Ditengah kesantaian, tiba-tiba bergema suara sirine yang paling tidak disukai oleh mereka. Hampir semua orang di area itu terkejut, dan kebingungan. Hingga peristirahatan merekapun berakhir dengan kacau.
Dan seperti peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Sekelompok oknum meyebalkan mengganggu aktivitas mereka. Orang yang kecil itu pun bertebaran kesegala penjuru untuk melindungi diri dan terbebas dari oknum tersebut.

Bersambung.............

Tuesday, March 15, 2011

APARAT LEBAY DIuber SI SARAP

Negeri ini memang negeri yang penuh dengan kasus. Khususnya KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Namun selain itu, proses jalannya hokum pun berkelok-kelok alias ora bener. Karena semua-muanya dapat ditakhlukkan dengan something yang disebut “BANDHA” dan kekuasaan. Sing sugih kuasa, yang miskin semakin merana.
Salah satu bukti yang terlihat, kerja Poltas yang ndak konsisten. Mereka mung mengutamakan pengendara “pelat abang” thok. Ndak gumun karo wong nyokor. Kalau perlu, “tabrak sisan”.
Jun Ngglimpang adalah salah satu aparat keamanan yang cukup anarkis. Apa saja yang ndak disukainya, pasti dianggap salah. Sebenernya, itu hal yang ndak bener. Hingga suatu hari, ada Pak Walikota lewat jalan raya dengan nitih “pelat abang” dan dikawal mobil sedan sing duwe bel lampu “klib byarrrr”. Jun Ngglimpang langsung beraksi, dengan menghentian seluruh aktivitas di jalan tersebut, supaya Pak Walikota lewat.
“ He…..he….., minggir kabeh…., minggir kabeh…..!!! “ perintah si Jun.
Orang-orang pun takut karena dia memakai seragam dinasnya, meski didalam hati mereka pada grunengan.
(“ Wong kita yo mbayar pajek, kok di kiwakke saka Pak Walikota…..???? ”)
Setelah itu, Jun Ngglimpang mengadakan razia pengamen ing terminal. Eh ,,, lha…..dalahhh….., Jun Ngglimpang kok ngremuk gitar’e pengamen. Wahhh,…ora becik tenan kuwi……. Padahal buat beli tuh gitar, harus nabung cukup lama.
” Lha kok diremuk tow, Pak? Niki tumbase susah e…, Pak…….“ pengamen nangis melas.
“ Gitar ala kayak gitu kok dipelihara……..!!! Iki terminal bukan tempat mbarang. “ cela si Jun.
Kemudian, Jun Ngglimpang CS menciduk semua pengamen dan dibawa ke markas. Dia tidak berperasaan bahwa mereka mengamen untuk golek pangan.
Di tengah perjalanan, Jun Ngglimpang merasa kepanasan lan ngelak. Masalahnya, dari pagi dia belum sempat ngombe. Jun turun dari mobil.
“ Jun, arep nyang ndi tow? Wong selak cepet kok malah mblayang…” eling Den Kenthi, kancane Jun.
“ Aku mau mandhi sik nyang kali kono, panase aku ora betah.” Jawab si Jun.
“ Kantor yo kena tow? ” kanda Den.
“ Ora isoh disemayani ” Si Jun.
Jun Ngglimpang segera lari menyang kali, seragam e dicopot, dan di taruh diatas batu dan langsung nyebur. Ketika asik cikluk di kali, seragam Jun Ngglimpang diambil oleh Joko Genthong. Joko Genthong itu wong sarap yang ndak kelakon jadi Polisi. Seragam itu pun dipakai.
Setelah cikluk, Jun Ngglimpang mencari seragamnya.
“ Lha…., kok ilaaang…..!!! wah, gawat iki…., mosok koloran karo kaosan thok??? ” si Jun kaget.
Jun Ngglimpang terus mencari akal.
Dia melihat jemuran di samping rumah warga. Dan dia ambil baju di jemuran itu.
Lha….tiba-tiba yang punya ngetok.
“ He….., maling sandhangan….!!! ” Seru pemilik jemuran.
“ Aku bukan maling. Aku polisi…..” sahut Jun Ngglimpang.
“ Preeettttt…….., maling…..maling…..maling…..” pemilik jemuran berteriak.
Joko Genthong pun datang.
“ Endi….., endi malinge? ” Tanya Joko.
” Mlayu ngidul….” Jawab pemilik jemuran.
“ Tak oyak”e…..” si Joko girang.
Jun Ngglimpang dikejar-kejar Joko Genthong. Joko bertindak seolah-olah seorang Polisi yang mengejar penjahat. Jun Ngglimpang terus lari ngenthorit dan akhirnya dia nyemplung di got limbah ternak sapi. Wadhuh, njijik’i banget……
Joko Genthong pun tertawa ngakak sampai kaku…….. “Kachiaaan, dech loe…….!!!!”

Sunday, January 9, 2011

Kisah Dia...................

The Legend of Rive’S Day

Jumat pagi, 7 Agustus 2009 adalah pagi yang cukup cerah, angin senantiasa bertiup sepoi-sepoi, dan menambah semangat untuk beraktivitas. Siswa-siswi di daerah Boyolali mulai menuju ke sekolahnya masing-masing.
Namun pagi itu, seakan membuat kelas XII IA 2 terbanjiri air mata. Tak ada sedikitpun senyum yang menyapa dari penghuninya. Ruang yang senantiasa diramaikan oleh gelak tawa dan canda, kini dibungkam oleh duka. Duka yang tak pernah terduga, duka yang tak pernah diharapkan, tiba-tiba datang merenggut kebahagiaan. Kesedihan yang dibungkus dalam sepotong pesan singkat secara estafet, melemahkan semangat hingga lubuk hati paling dalam. Mungkin memang seperti ini, rasanya kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup.
Dia adalah sang pujangga. Tak sedikit hal-hal yang ia perbuat membuat kami bangga. Dia tak hanya seorang punjangga, tapi dia juga taat dalam beragama. Meskipun bukan juara, tapi dia selalu rajin berusaha. Dia juga bukan orang ternama, tapi tak sedikit orang yang mengenalnya. Memang begitu sulit untuk tidak menganggapnya sebagai seorang sahabat yang tak pernah hilang dari ingatan.
Dalam dunia kias, dia begitu ternama. Karena puisi-puisinya tak pernah terhindar untuk dimuat di majalah sekolah. Tak sedikit juga sahabat-sahabatnya yang menyukai karyanya. Dalam dunia Kerohanian Islam (Rohis) Sekolah dia tak kalah penting. Karena dia menjabat sebagai Ketua I organisasi. Selain itu, dia juga seorang ikhwan yang dianggap berpengetahuan paling dalam tentang islam, di kelas.
Dia begitu ramah, tak pernah ada raut murung terekspresi dari wajahnya. Dia juga bagitu dicintai oleh banyak guru karena selalu patuh. Tak hanya teman-temannya yang menyayanginya, tapi juga saudara-saudara seperguruannya. Diapun seakan tak pernah punya musuh, bahkan dia berprinsip untuk tidak mempunyai pacar.
“Rive Expression”, dia menamai karya-karyanya dalam berekspresi. Hingga kami semua tahu bahwa Rive adalah dia. Meski itu bukan nama aslinya. Nama itulah yang membuat kami semua semakin mudah untuk mengingat dirinya. Karena nama itu, adalah nama sapaan untuk dia dari sahabat-sahabatnya.
Suatu pagi pada hari Kamis, 6 Agustus 2009. Dia berulang tahun dan genap berusia 17 tahun. Ucapan-ucapan selamat ulang tahun pun menggenangi inbox di handphone-nya dan wall di facebook-nya. Tak kusadari, ternyata diriku pun lupa menyelipkan doa “panjang umur” untuk dia. Tapi kurasa, itu berjalan secara otomatis sebagai firasat yang terlambat kusadari.
Namun pagi itu, kondisi kesehatannya kurang baik. Alhamdillah-nya, dia sedang berpuasa sunnah. Hari itu juga tepat diselenggarakannya salah satu bagian acara ulang tahun sekolah yang di percayakan pada Rohis Firman. Sebenarnya dia berperan penting, tapi dia tidak bisa bekerja meksimal karena kondisinya kurang sehat. Namun acara disekolah masih tetap bisa berjalan lancar.
Senandung-senandung religi yang dilantunkan oleh Group Nasyid asal Surakarta, begitu mendamaikan jiwa. Tak ketinggalan bapak Kepala Sekolah pun ikut melantunkan senandung-senandung nan anggun. Hingga seorang Rive pun menyerukan potongan lagu religi dalam status facebooknya. Dan kami semua tak pernah menduga, bahwa status itu, akan menjadi status terakhirnya.
Sebelum waktu Dzuhur tiba, acara di sekolah pun berakhir. Penghuni sekolah pun siap untuk meninggalkan sekolah. Namun ada juga sebagian siswa-siswi yang menantikan waktu Dzuhur di masjid sekolah.
Waktu terus berjalan, hari pun semakin sore. Hingga malam tiba, tak ada kabar apapun dari teman-teman sekolah. Namun pada detik-detik menjelang istirahat, kami semua tercengang di rumah kami masing-masing. Kabar dari sepotong sms yang menyatakan bahwa Rive telah kembali kepada Sang Pecipta. Mata yang tadinya tak tertahankan, kini berubah menjadi hawa insomnia.
Ketidak percayaan menggenang dalam benakku. Setelah pagi tiba, informasi tentang penyebab meninggalnya Rive akhirnya ku dapatkan. Kemarin, menjelang maghrib dia mengalami kecelakaan. Dua rumah sakit menolak untuk menolongnya. Hingga akhirnya, ketika pihak rumah sakit ke tiga hampir menolongnya...........!?!?!? Innalillahi wa Innailaihi raji’uun.... Malaikat maut lebih dulu menjemputnya.
Kesedihan menjalar di seluruh penjuru. Tak hanya di sekolah, tetapi seluruh pihak yang mengenalnya juga merasa kehilangan. Dan pujangga XII IPA 2 hilanglah sudah. Hanya tinggal sebuah karya yang dapat kami nikmati. Satu hal yang tak pernah kami lupa, bahwa dia meninggal tepat pada saat hari ulang tahunnya yang ke 17. Mungkin memang itu yang terbaik untuknya, dan insyaallah puasa sunnahnya membawanya pada jalan yang syahid...... amiiin.....

My Short Story

LEMBARAN – LEMBARAN MASA LALU

Keramaian begitu kasat oleh mata, ketika para perantau akan menuju ke kampung halaman. Hal itulah yang terjadi di stasiun Balapan Solo. Terlihat seorang pemuda arif, berbondong – bondong membawa serta barang – barang yang begitu banyak. Begitu sibuk ia mengeluarkan tas ransel dan koper dari kereta api.
Pagi itu, matahari tersenyum dengan ramah. Angin yang semilir pun berjalan menghampiri pemuda itu. Rasa lelah, setelah perjalanan semalam pun lari seketika. Pemuda itu begitu antusias untuk kembali ke kampung halaman yang telah ia abaikan selama belasan tahun. Sambil menopangkan punggung, ia beristirahat sejenak sembari menghapus dahaga dengan beberapa teguk air mineral. Ia mencoba menenangkan pikiran sejenak. Anehnya, semenjak ia menempatkan sebuah tas dipunggungnya, dia belum pernah melepas tas itu. Entah apa arti tas itu baginya.
“Riz … Fariz … !!!” tiba – tiba terdenga suara laki – laki. Suara tersebut mengusik ketenangan pemuda itu.
“Bapak …!!” pemuda itu menyapa laki – laki yang berteriak tadi, ternyata laki – laki itu adalah bapak dari pemuda itu, yang datang untuk menjemputnya. Pemuda itu bernama Fariz.
Fariz dan bapaknya pun bergerak menuju mobil tua yang tadi dikendarai oleh bapak Fariz. Mereka berjalan perlahan, dan Fariz pun tetap pada tas ransel dipunggungnya. Perlahan mereka membuka pintu mobil, kemudian memasukkan barang-barang Fariz ke dalam mobil, mereka pun masuk ke dalam mobil, namun ransel Fariz kini berubah posisi, yaitu ke pangkuan Fariz. Mobil pun melaju perlahan keluar dari halaman stasiun.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya bapak Fariz melakukan interogasi tentang kehidupan Fariz di Bandung setelah ditinggalkan oleh orang tuanya pulang ke kampung halaman sejak dua tahun yang lalu. Fariz pun menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh bapaknya dengn tutur kata yang halus dan sopan. Sembari membuka-buka isi ransel, percakapan mereka pun terus berjalan seiring berputarnya roda mobil yang mereka kendarai. Tetapi, kesibukan Fariz terhadap isi ransel, membuat bapak Fariz bertanya-tanya.
Akhirnya, percakapan mereka menjurus kepada ransel Fariz tersebut. Salah satu harapan Fariz pulang ke kampung halaman adalah agar dapat bertemu dengan seseorang yang erat sekali hubungannya dengan isi ransel tersebut.
Pesan – pesan, amanat dan harapan-harapan secara tersurat berada dalam ransel itu. Isi dari ransel itu, terkumpul sejak belasan tahun silam, dan Fariz masih menyimpannya dengan rapi. Kini dia bawa ke kampung halaman dengan ransel khusus. Harapan yang penuh dari seorang Fariz terhadap seorang Aidha. Fariz selalu berjanji akan menemui Aidha suatu saat. Meskipun mereka telah terpisah jarak, namun komunikasi mereka tetap berlanjut hingga kini.
Tak terasa, di tengah perjalanan terjadi kemacetan. Ada kecelakaan lalu lintas di perempatan jalan. Padahal, tanpa kecelakaan pun, jalur lalu lintas sudah macet. Maka mereka harus menunggu dalam waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya, Fariz memutuskan untuk mampir ke pasar sebentar membeli buah – buahan untuk ibunya. Di depan pasar, tiba-tiba dengan tidak sengaja, Faariz menabrak seorang gadis yang dengan anggun mengenakan jilbab, hingga belanjaan gadis itu terjatuh.
“Maaf… maaf… !! saya tidak sengaja”, permintaan maaf Fariz terhadap gadis itu.
“Tidak apa-apa kok mas”, jawab gadis itu dengan suara lembut dan penuh keikhlasan.
Fariz membantu gadis itu mengambilkan belanjaan yang jatuh. Dengan ucapan terima kasih dan permisi, gadis itu berlalu. Namun seketika itu, bayangan Fariz akan Aidha, hilang begitu saja. Fariz begitu kagum akan kecantikan paras gadis itu. Dia pun melanjutkan perjalanan untuk membeli buah – buahan. Setelah kembali ke mobil, nampaknya kemacetan mulai reda. Fariz dan bapaknya melanjutkan perjalanan mereka kembali.
Setelah mereka tiba di area kampung halaman, Fariz kembali teringat akan Aidha. Ia melihat sebuah masjid yang berdiri kekar di ujung desa. Fariz ingat bahwa dulu, masjid itu adalah sebuah surau kecil yang biasa ia tempati untuk mengaji bersama teman-teman kecilnya, termasuk Aidha. Sekilas membuat Fariz terjerumus kedalam sepotong episode masalalunya. Ia terkejut karena kini sudah disulap menjadi masjid yang megah.
Area persawahan yang luas, dengan padi yang melambai-lambai, dan warna hijau bak zamrud khatulistiwa, menghiasi pandangan Fariz. Persawahan itulah tempat bermain Fariz bersama Aidha waktu kecil. Harapan akan Aidha pun semakin lekat dalam pikirannya. Ia pun tidak sabar untuk menghampiri Aidha ke rumahnya. Hingga tak terasa perjalanan Fariz dan bapaknya usai. Merekapun tiba di rumah. Fariz segera masuk untuk menemui ibunya.
“Assalamu’alaikum … “, ucap Fariz.
“Wala’ikumsalam …”, jawab ibu Fariz.
Ibu Fariz menyambut kedatangan Fariz dengan hati gembira. Karena Fariz adalah anak sematawayang mereka. Fariz langsung mencium tangan wanita yang telah mengandung dan melahirkannya. Pintu kamar pun ia buka. Tanpa rasa sungkan, ia merebahkan raganya pada sebuah ranjang dengan sehelai pulau kapuk diatasnya. Sesekali, dia teringat akan masa kecilnya bersama Aidha. Tetapi sesekali, gadis yang ia temui di pasar tadi pagi mampir dalam pikiran Fariz. Karena rasa lelahnya, tak terasa ia pun tertidur pulas, hingga sesuatu mengusiknya.
“Assalamu’alaikum … Pak Chasan …”, terdengar suara seorang lelaki dari mulut pintu memanggil nama bapak Fariz.
“Wa’alaaikumsalam ….”, jawab Pak Chasan.
Ternyata lelaki itu adalah Pak Amin, orang yang datang untuk meminjam pompa ban sepeda motor. Pak Amin adalah pakdhe dari Aidha. Mengetahui bahwa yang datang adalah Pak Amin, Fariz bergegas keluar dari kamar. Tanpa enggan ia pun menanyakan tentang Aidha. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi murung seketika. Entah apa yang terjadi. Ternyata, Pak Amin mengabarkan bahwa Aidha dan keluarganya sudah pindah tempat tinggal sejak tiga hari yang lalu. Seketika itu juga, wajah Fariz kembali sumringah, karena Pak Amin memberitahukan bahwa beliau akan berkunjung ke rumah Aidha hari itu.
Fariz bergegas menggerakkan awaknya ke kamar. Kemudian dia menjereng sehelai kertas di atas meja. Sembari menggoyangkan pena, ia pun menulis pesan untuk Aidha. Karena Fariz bermaksud menitipkan surat untuk Aidha kepada Pak Amin.
Kata demi kata terangkai dengan penuh makna. Namun makna dari surat Fariz kali ini, lain dengan surat terakhir yang ia kirim untuk Aidha tiga hari yang lalu. Biasanya, Fariz menulis surat dengan penuh keyakinan, seakan hatinya hanya tertuju kepada Aidha. Tetapi surat kali ini, penuh dengan kebimbangan. Ia seakan tidak yakin bahwa Aidha akan setia menunggu sampai Fariz datang. Padahal, selama ini mereka saling surat menyurat dengan penuh keyakinan dan kepercayaan. Mungkin memang kecantikan gadis yang ia jumpai tadi pagi telah mencemari pikirannya.
Surat yang Fariz tulis, kini melaju bersamaan dengan sepeda motor yang membawa Pak Amin ke rumah Aidha. Tak lama setelah itu surat pun hinggap ke telapak tangan Aidha. Dibukanya surat tersebut, dan mengalunlah bibir Aidha membaca surat dari Fariz. Setelah surat itu di baca, kejanggalan pun tertuju pada Aidha. Aidha sesegera mungkin mengambil secarik kertas dari tumpukan di meja kamarnya, dan dibentangkannya kertas tersebut. Seiring berjalannya pikiran Aidha akan jawaban untuk surat dari Fariz, pena yang ia pegangpun mulai menari-nari di atas helaian kertas putih yang diletakkan diatas meja. Pikirannya pun mulai tertuang untuk meyakinkan seorang Mas Fariz akan kebimbangannya.
“Aidha akan tetap menunggu Mas Fariz, jika Mas Fariz memang mau datang untuk Aidha. Penantian Aidha akan berakhir di batas waktu yang telah digariskan oleh Allah. Tetapi, jika Mas Fariz tidak bersedia datang, itu tidak masalah buat Aidha. Mungkin itu memang bukan jalan kita untuk bersatu. Aidha tinggal menunggu apa yang akan terjadi pada Aidha selanjutnya.”
Itulah penggalan dari surat Aidha, untuk membalas surat dari Fariz. Aidha mengungkapkan seakan-akan sesuatu hal akan menimpa Aidha.
Surat pun kembali melayang bersama Pak Amin dan hinggap ke tangan Fariz. Fariz membaca surat itu, dan pikirannya pun mulai kalut. Sebenarnya, Fariz sangat berharap pada Aidha. Namun sekali lagi, gadis di pasar tadi pagi terus membayanginya. Fariz pun bingung dengan surat dari Aidha dan dia tidak bisa menghapus kecantikan paras gadis itu dari pikirannya.
Adzan ashar pun berkumandang, memenuhi telinga-telinga umat Allah. Fariz pun terdiam sejenak. Setelah adzan usai, ia bergegas menuju tempat wudhu, kemudian shalat ashar. Setelah shalat, ia pun berdoa memohon petunjuk kepada Allah SWT. Tak lupa ia melantunkan ayat-ayat Allah dengan fasih dan merdu. Perasaannya pun mulai tenang. Pikirannya untuk melangkah ke depan dan menentukan keputusannya pun mulai terbuka.
Fariz mulai menyadari akan khilafnya. Sebenarnya, sejak dulu ia berprinsip untuk memandang dan mencintai seseorang bukan dari segi fisik. Melainkan dari hati. Selama belasan tahun, Fariz belum pernah melihat kondisi fisik dari Aidha, tetapi Fariz cukup mengenal Aidha sejak kecil, dan juga melalui surat-surat yang mereka tulis. Fariz menyadari bahwa ia belum mencintai gadis dipasar tadi pagi, melainkan hanya rasa kagum semata, akan kecantikan yang dianugerahkan Allah padanya.
Senja itu, matahari tampak hendak bersembunyi di balik gunung. Panorama orange melukis langit ufuk barat. Sawah yang hijau bermetamorfosis menjadi kekuningan karena refleksi matahari ke angkasa. Dengan mantap, Fariz melangkah kaki keluar melalui mulut pintu setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya. Suara motor mulai menggema, dan motor pun melaju kencang. Dengan bekal denah lokasi rumah Aidha dari Pak Amin, Fariz menuju rumah Aidha.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, kelajuan motor yang dikendarai Fariz berkurang. Perlahan ia menyusuri daerah tempat tinggal seperti pada denah. Fariz menemukan lokasi yang ia cari berdasarkan denah. Namun, dia tidak percaya jika itu rumah Aidha. Dikelilinginya lagi daerah itu hingga beberapa kali, namun hasilnya sama. Rumah itulah tujuan Fariz.
Dengan perasaan ragu, Fariz memarkirkan motor di halaman rumah Aidha. Dengan kebimbangan dan kecemasan pula, ia melangkah memasuki rumah itu. Kegalauannya muncul ketika ia mendapati bendera kuning yang mungil melambai-lambai karena tiupan angin, dan menancap di pagar depan. Ia terkejut ketika memasuki rumah, dan menemui keluarga Aidha. Semuanya ada, namun satu yang tidak ia dapati sedang duduk yaitu Aidha. Fariz mendapati jenazah Aidha terbaring di tengah ruangan dengan tertutup oleh selendang coklat dan putih. Ternyata, sore itu penyakit jantung yang diderita Aidha, menyerang tiba-tiba hingga Aidha meninggal dunia, setelah shalat ashar.
Tangis dan sesal, yang kini Fariz rasakan. Ia merasa terlambat datang untuk menemui Aidha, karena kebimbangannya. Harapan yang ia bina menjadi luka dan kegundahan dalam hati. Sesekali ia menatap ke dinding rumah Aidha. Fariz mendapat foto gadis yang ia temui tadi pagi di pasar. Ternyata, gadis itu adalah Aidha, orang yang menjadi harapannya. Rasa bersalah dalam dirinya pun semakin memuncak, kini Fariz tidak bisa berbuat apa-apa. Dua sosok yang ia pertimbangkan, dan membuatnya bimbang untuk memilih, hilang bersama. Seketika menjadi satu kesatuan. Tinggal penyesalan yang menjejal menyesaki rongga hati dan pikirannya.