BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pajak
dan zakat merupakan dua hal yang pada dasarnya memiliki tujuan sama. Namun
keduanya menjadi berbeda ketika dikaitkan atas sumber serta dasar
pemungutannya. Pajak dan zakat sama-sama berupaya mengambil sebagian harta
masyarakat untuk kepentingan sosial.
Istilah
pajak lahir dari konsep Islam. Pajak diberlakukan serta digunakan untuk
kepntingan yang telah ditetapkan oleh negara melalui proses demokrasi yang sah.
Sedangkan mengenai istilah zakat, tercipta dari konsep agama Islam. Zakat
tersebut berlaku untuk kepentingan yang diatur agama Islam.
Perbedaan
penerapan antara pajak dan zakat itu menjadi permasalahan publik ketika
keduanya juga memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama wajib ditunaikan oleh
masyarakat. Pelaksanaan pajak dipaksa oleh hukum Negara, sedangkan pelaksanaan
dari zakat dipaksa oleh hukum Agama.[1]
Negara Indonesia merupakan
negara yang memiliki keragaman Agama dengan 75% lebih mayoritas rakyatnya
memeluk Agama Islam, sehingga tak heran apabila pemenuhan syariat bagi pemeluk
Agama Islam memperoleh banyak kemudahan, salah satu diantaranya ialah mengenai
pembayaran zakat.
Namun dibalik kemudahan atas
zakat, terjadi semacam kendala mengenai pajak terhadap negara.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tentang
Pajak
Pajak merupakan beban
yang ditetapkan oleh pemerintah yang dikumpulkan
sebagai keharusan atau kewajiban untuk memenuhi anggaran umum negara. Selain itu, pajak juga digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan-tujuan
lainnya yang dicanangkan oleh negara.
Pajak ditetapkan oleh pemerintah, yang kadarnya dapat ditambah kapan saja, manakala pemerintah menginginkannya
sesuai kepentingan maslahat pribadi dan
masyarakat.[3]
Di Indonesia, hukum pajak bersumber dan berdasarkan pada pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan
negara berdasarkan undang-undang.
Dalam negara Islam, pajak disebut
dengan istilah jizyah yang berarti pajak tanah
(upeti), yang mana diatur dalam Q.S. At-Taubah ayat 29[4], sebagai
berikut :
(#qè=ÏG»s% *
úïÏ%©!$#
w
cqãZÏB÷sã
«!$$Î/
wur
ÏQöquø9$$Î/
ÌÅzFy$#
wur
tbqãBÌhptä
$tB
tP§ym
ª!$#
¼ã&è!qßuur
wur
cqãYÏt
tûïÏ
Èd,ysø9$#
z`ÏB
úïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tFÅ6ø9$#
4Ó®Lym
(#qäÜ÷èã
spt÷Éfø9$#
`tã
7t
öNèdur
crãÉó»|¹
ÇËÒÈ
“Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” [At-Taubah
: 29][5]
B.
Unsur-Unsur
Pajak
Istilah pajak menurut pakar ekonomi kontemporer telah mendefinsikan bahwa pajak ialah sebagai
kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang dan bersifat
mengikat tanpa adanya imbalan
tertentu. Pajak diadakan untuk dialokasikan supaya mencukupi pangan secara umum dan untuk memenuhi
keuangan bagi pemerintah.
Adapun unsur-unsur pajak adalah sebagai berikut :
1. Pajak
adalah pembayaran tunai, artinya bahwa seorang mukallaf membayarnya dengan uang tunai tidak berupa barang.
2. Pajak
adalah kewajiban yang mengikat, artinya bahwa pajak ialah kewajiban yang dipungut dari setiap individual sebagai
suatu keharusan.
3. Pajak
merupakan kewajiban pemerintah, sehingga pejabat pemerintah atau lembaga yang berwenang mewajibkan pajak yang
kemudian hasilnya dipergunakan untuk kepentingan umum.
4. Pajak
adalah kewajiban yang bersifat final, artinya orang mukallaf tidak berhak untuk
menolak atau menuntut sekalipun tidak tercipta suatu kemanfaatan.
5. Pajak
tidak ada imbalannya, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk
memperoleh imbalan atau fasilitas kesejahteraan, sehingga tidak ada hubungan antara membayar pajak
dengan fasilitas yang diperoleh oleh wajib pajak.
6. Pajak
adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan negara.[6]
C.
Tentang Zakat
Zakat
merupakan hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu,
dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridlaan Allah, membersihkan diri, harta serta masyarakat.
Kadar serta ukuran zakat dan tempat
penyalurannya telah ditetapkan secara langsung oleh
syari’at serta ditunaikan dengan maksud ibadah (taqarrub) kepada Allah. Zakat merupakan
kewajiban yang sudah ditetapkan dan bersifat kekal selama di bumi ini ada agama
Islam dan ada kaum muslimin.[7]
Ketentuan atas zakat diatur dalam Al-Qur’an, salah
satunya yaitu pada ayat berikut :
* $yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym
ÇÏÉÈ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang yang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan
Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60][8]
Sesuai ketentuan Islam, mereka yang
berhak mendapatkan zakat hanya delapan
yaitu :
1.
Fakir,
2.
Miskin,
3.
Amil,
4.
Muallaf,
|
5.
Hamba Sahaya,
6.
Gharim,
7.
Sabilillah,
|
D.
Unsur-Unsur Zakat
Menurut pakar ekonomi Islam zakat ialah sebagai harta yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau pejabat berwenang kepada masyarakat umum dan individu yang
bersifat mengikat, final, dan tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan
pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta. Zakat di alokasikan untuk
memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al Quran,
sehingga zakat dilakukan untuk memenuhi tuntutan bagi keuangan Islam.
Adapun unsur-unsur dari zakat adalah sebagai berikut :
1. Zakat
adalah kewajiban yang bersifat material seorang mukallaf muslim
membayarkannya baik secara tunai berupa uang maupun barang.
2. Zakat
merupakan kewajiban yang bersifat mengikat, artinya membayar zakat bagi seorang
muslim mukalalaf adalah suatu keharusan.
3. Zakat
adalah kewajiban pemerintah, pejabat pemerintah Islam, para imam mewajibkan zakat berdasarkan anggapan bahwa
mereka melaksanakan kewajiban ilahiyah sebagai kewajiban.
4. Zakat
merupakan kewajiban final, artinya orang Islam tidak boleh menolak dan tidak ada hak orang islam untuk menentang
dan menuntutnya.
5. Zakat
adalah kewajiban yang tidak ada imbalannya, tidak ada syarat untuk memperoleh
kemanfaatan atau fasilitas yang seimbang bagi pembayar zakat, dan tidak ada
hubungan antara kewajiban zakat dengan imbalan yang seimbang setelah membayar
zakat.
6. Zakat
merupakan kewajiban tuntutan politik untuk keuangan Islam. Alokasi zakat adalah
untuk golongan delapan penerima zakat, sebagaimana yang telah ditentukan dalam
surat At-Taubah : 60.[10]
E.
Persamaan
Antara Pajak dan Zakat
Pada
dasarnya, pajak memiliki kesamaan dengan zakat dalam unsur-unsur tertentu.
Persamaan antara pajak dan zakat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila
melalaikannya terkena sanksi.
2.
Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi
penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3.
Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4.
Di antara ketentuan pajak tidak
adanya imbalan tertentu bagi para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku
anggota masyarakat. Demikian juga dengan zakat, ia wajib memberikan hartanya
untuk menolong warga masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan, dan
penderitaan hidup.[11]
5.
Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan
problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.[12]
F.
Perbedaan antara Pajak dan Zakat
Di bawah ini merupakan perbedaan antara pajak dan
zakat antara lain :
PERBEDAAN
|
ZAKAT
|
PAJAK
|
Arti Nama
|
bersih, bertambah dan berkembang
( التَّطْهِيرُ وَالنَّمَاءُ )
|
Utang, pajak, upeti
|
Dasar Hukum
|
Al-Qur`an dan As Sunnah
|
Undang-undang suatu negara
|
Nishab dan Tarif
|
Ditentukan Allah dan bersifat mutlak
|
Ditentukan oleh negara dan bersifat berubah-ubah
sesuai dengan neraca anggaran negara
|
Sifat
|
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
|
Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat
dihapuskan
|
Subyek
|
Umat Muslim
|
Semua warga negara
|
Obyek Alokasi Penerima
|
Tetap 8 Golongan
|
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
|
Harta yang Dikenakan
|
Harta produktif
|
Semua Harta
|
Imbalan
|
Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta
|
Tersedianya barang dan jasa publik
|
Sanksi
|
Dari Allah dan pemerintah Islam
|
Dari Negara
|
Motivasi Pembayaran
|
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan
ketakutan pada negara dan sanksinya
|
Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya
manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada
zakat
|
Perhitungan
|
Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan
bantuan ‘amil zakat
|
Selalu menggunakan jasa akuntan pajak[13]
|
G.
Hubungan
antara Pajak dan Zakat
Pajak dan zakat memang memiliki
parbedaan yang cukup senjang. Maka dalam Islam, tidaklah mungkin menggantikan
zakat dengan pajak, begitu juga menggantikan pajak dengan zakat.
Agar terjadi keharmonisan dalam
pemungutan pajak dan penarikan zakat, maka hal yang mungkin adalah memadukan
antara pajak dan zakat. Hal tersebut dilakukan dengan cara memotong jumlah
pajak dengnan jumlah zakat yang telah dibayar oleh seseorang. Untuk mereka yang
wajib menunaikan zakat dan sekaligus wajib pajak, cara ini mungkin akan dapat
diterima karena menurut mereka kewajiban agama telah mereka penuhi bersama
dengan kewajiban terhadap negara (Amir Syarifuddin, 1986:27)[14]
Penerapan sistem zakat dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak diatur dalam UU
sebagai berikut :
1.
UU
No 38 tahun 1999 : zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau
LAZ akan dikurangkan terhadap laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak
yang bersangkutan.
2.
UU
No 17 tahun 2000 : zakat atas penghasilan yang
nyata-nyata dibayarkan secara resmi oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk
Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki kaum muslimin, dapat
dikurangkan atas penghasilan kena pajak.[15]
3. UU Nomor 36 Tahun 2008 : zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan
oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan
dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.[16]
H.
Pajak
dan Zakat dengan Pendapatan Negara
Dalam
penerapan sistem zakat yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak,
memunculkan sebuah permasalahan tentang pendapatan negara dalam hal pajak.
Dibalik
perumusan undang-undang diatas, pemerintah menyimpan keraguan dan kerisauan.
Karena mereka berpendapat bahwa semakin banyak umat Islam yang membayar zakat,
maka penghasilan kena pajak akan semakin berkurang. Hal tersebut mengakibatkan
pajak yang dibayarkan juga semakin kecil dan pendapatan negara pun turut
menyusut.
Padahal jika dikaji
lebih lanjut, dapat dibuktikan bahwa efek zakat sebagai pengurang penghasilan
kena pajak adalah positif terhadap pendapatan nasional keseimbangan. Meskipun zakat penghasilan dapat mengurangi
penerimaan negara dari sektor pajak. Tapi kondisi perekonomian secara makro
tetap membaik. Bahkan pendapatan nasional keseimbangan dengan variabel zakat
lebih tinggi hasilnya dibandingkan pendapatan nasional keseimbangan tanpa
variabel zakat.[17]
Keseimbangan
pendapatan nasional tersebut dapat dilihat dari segi kesejahteraan rakyatnya
yang sedikit-sedikit dapat lebih merata atas adanya zakat yang tersalurkan
secara baik dan benar. Namun, kegagalan juga dapat terjadi atas pembudayaan
zakat dengan kendala sebagai berikut :
1.
Kurangnya
sosialisasi/informasi tentang peraturan perundang-undangan zakat pada umat
Islam, para wajib zakat (muzaki), pengurus/pengelola/amil, para mustahik
dan aparat/instansi dinas terkait.
2.
Kurangnya
pemahaman/kepedulian para pejabat Departemen Agama, tokoh agama (ulama), tokoh
masyarakat dan para pakar/cendekiawan muslim tentang perlunya gerakan massal
dalam usaha pembudayaan zakat sejak diberlakukannya secara efektif UU No.38
Tahun 1999.
3.
Tidak adanya
peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan UU No. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
4.
Kurangnya
koordinasi antara Depag dan Depkeu sehingga penghitungan zakat mal berdasarkan
hukum agama (Islam) dan penerapannya dalam kaitannya dengan pengurangan pajak
sulit dilaksanakan[18]
BAB III PENUTUP
Ø Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Pajak merupakan
beban yang ditetapkan oleh pemerintah yang dikumpulkan sebagai keharusan atau
kewajiban untuk memenuhi anggaran umum negara. Dan dalam Islam disebut juga
dengan Jizyah yang diatur dalam Q.S. At-Taubah ayat 29.
2.
Pajak memiliki unsur-unsur yang telah ditetapkan dan harus diperhatikan
dalam pelaksanaannya.
3.
Zakat merupakan
hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan
pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridlaan Allah, membersihkan diri, harta
serta masyarakat. Pelaksanaan zakat diatur dalam Al-Qur’an, salah satunya Q. S.
At-Taubah ayat 60.
4.
Zakat juga memiliki unsur-unsur tertentu yang harus diperhatikan pula
dalam pelaksanaannya.
5.
Zakat dan pajak pada hakekatnya memiliki persamaan yang begitu nyata dan
terlihat dengan jelas, terlebih dalam hal tujuannya.
6.
Selain persamaan, zakat dan pajak juga memiliki pebedaan yang bisa
dibilang cukup senjang, terutama dalam hal dasar hukum dan objek alokasi
penerimanya.
7.
Pajak dan zakat dihubungkan dalam sistem zakat dapat dikurangkan atas
penghasilan kena pajak agar dapat berjalan beriringan serta memudahkan umat
Islam dalam menjalankan keduanya,
8.
Penerapan sistem zakat yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak
memang dapat mengurangi pemasukan pajak terhadap negara. Namun pemasukan dari
sektor zakat akan meningkat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
yang menjadi objek penyaluran zakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud.1988. Sistem Ekonom Islam - Zakat dan Wakaf.
Jakarta : UIP.
Al-Qur’an dan
Terjemahannya
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam perekonomian modern. Jakarta:Gema Insani.
http://almanhaj.or.id/content/1876/slash/0.
30 September.
http://artikelterbaru.com/sosial-politik/religius/hubungan-antara-zakat-dan-pajak-20112168.html.
15 Oktober.
Widagdo, Baroto. 2009. Implementasi Ketentuan Pembayaran Zakat Sebagai
Pengurang Penghasilan Kena Pajak. Surakarta : UMS.
[2]
Baroto
Widagdo, Implementasi Ketentuan Pembayaran Zakat Sebagai
Pengurang Penghasilan Kena Pajak, (UMS:2009), hlm.2
[3]
http://masalahpajak.blogspot.com/2007/08/hubungan-antara-zakat-dan-pajak.html
[4]
DR. K. H .Didin Hafidhuddin, M. Sc., Zakat dalam
perekonomian modern, (Jakarta:2002), hlm.56
[5]
Al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm.288
[8]
Al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm.288
[9]
September
30, http://almanhaj.or.id/content/1876/slash/0
[14]
Mohammad
Daud Ali, Sistem Ekonom Islam - Zakat dan Wakaf, (Jakarta:1988), hlm.51
[16],
September 30, http://pajak-kita.blogspot.com/2009/09/pajak-vs-zakat.html
[17]
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonom Islam - Zakat dan
Wakaf, (Jakarta:1988), hlm.51
No comments:
Post a Comment