Thursday, July 10, 2014

Sumber Hukum Islam: ISTISHAB

Ushul Fiqh
SUMBER HUKUM ISTISHAB
A.    Definisi Istishab
Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:
استصحبت الكتاب في سفري
Artinya: “aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku”.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1.      Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut).”
2.      Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Dari kedua defenisi di atas mengandung pengertian, bahwa:
1.      Sesuatu hukum yang ada sekarang adalah lantaran ada hukum dimasa yang lalu.
2.      Hukum yang masih ada pada masa lalu tetap masih ada.
3.      Hukum yang ada sekarang ada pula pada masa lalu.
B.     Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
Para ahli ushul ada perbedaan paham tentang berpegang kepada istishab sebagai sumber hukum, diantaranya:
Menurut golongan hambaly, maliky dan dzahiry, bahwa istishab ini dapat menjadi hujjah baik menafikan atau mengistimbathkan. Menurut ibnu najain seorang ulama penganut madzhab hanafi, ia menolak adanya istishab untuk dijadikan hujjah, dengan alasan bahwa adanya sesuatu pada masa lalu diperlukan dalil dan pada masa sekarang pun sama pula diperlukan dalil.
Menurut madzhab abu zaid seorang penganut madzhab hanafy, mengatakan ,bahwa istishab itu adalah sumber hukum untuk membantah bukan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contoh hakim dapat menolak permintaan ahli waris membagikan harta orang yang pergi tanpa tujuan dan belum diketahui akan kematiannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa istishab itu boleh dijadikan sumber hukum dalam perdebatan,dan tidak dapat dijadikan dalil untuk diri sendiri. Tetapi segolongan ulama ada juga yang mengatakan bahwa istishab ini bisa menjadi sumber hukum untuk menafikan bukan untuk mengistmbathkan, alasannya karena istishab itu merupakan suatu cara istidlal yang telah menjadi fitrah manusia dan  mereka melakukan dengan ketetapannya.
C.    Macam-Macam Istishab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
1.      Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
a.  “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).”
b.  “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.”
c.  “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”


2.      Istishhab berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
a.  “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
b.  “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”
c.  “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”

D.    Kaidah-Kaidah Istishab dan Penerapannya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
1.
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
2.
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
3.
الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
4.
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”

Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
Ø  Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.

Ø  Sumber:
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Syukur, Syarmin. Sumber-sumber hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas. 1993.
Usman, Iskandar. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.



No comments:

Post a Comment