Ushul Fiqh
SUMBER HUKUM ISTISHAB
A. Definisi
Istishab
Istishab secara bahasa adalah menyertakan, membawa
serta dan tidak melepaskan sesuatu. Jika seseorang mengatakan:
استصحبت
الكتاب في سفري
Artinya: “aku membuat buku itu ikut serta bersamaku dalam perjalananku”.
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
Adapun secara terminologi Ushul Fiqih, -sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah:
1. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang
menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap
suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku
sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya
perubahan (hukum tersebut).”
2. Sementara al-Qarafy (w. 486H) –seorang
ulama Malikiyah- mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan
sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis)
sekarang atau di masa datang.”
Dari kedua defenisi di atas mengandung pengertian, bahwa:
1. Sesuatu hukum yang ada sekarang adalah
lantaran ada hukum dimasa yang lalu.
2. Hukum yang masih ada pada masa lalu tetap
masih ada.
3. Hukum yang ada sekarang ada pula pada masa
lalu.
B. Kedudukan
Istishab sebagai Sumber Hukum
Para ahli ushul ada perbedaan paham tentang berpegang
kepada istishab sebagai sumber hukum, diantaranya:
Menurut golongan hambaly, maliky dan dzahiry, bahwa
istishab ini dapat menjadi hujjah baik menafikan atau mengistimbathkan. Menurut
ibnu najain seorang ulama penganut madzhab hanafi, ia menolak adanya istishab
untuk dijadikan hujjah, dengan alasan bahwa adanya sesuatu pada masa lalu
diperlukan dalil dan pada masa sekarang pun sama pula diperlukan dalil.
Menurut madzhab abu zaid seorang penganut madzhab hanafy,
mengatakan ,bahwa istishab itu adalah sumber hukum untuk membantah bukan untuk
menetapkan sesuatu hukum. Contoh hakim dapat menolak permintaan ahli waris
membagikan harta orang yang pergi tanpa tujuan dan belum diketahui akan
kematiannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa istishab
itu boleh dijadikan sumber hukum dalam perdebatan,dan tidak dapat dijadikan
dalil untuk diri sendiri. Tetapi segolongan ulama ada juga yang mengatakan
bahwa istishab ini bisa menjadi sumber hukum untuk menafikan
bukan untuk mengistmbathkan, alasannya karena istishab itu merupakan suatu cara
istidlal yang telah menjadi fitrah manusia dan mereka melakukan dengan
ketetapannya.
C.
Macam-Macam
Istishab
Dari
istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk
mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu
istishhab dapat dibagi kepada:
1. Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan
ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum
bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan
kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan
tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala
sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan
oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada
dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat
90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat
tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut
mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari
istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
a. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu
mubah (boleh dikerjakan).”
b. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas
dari tanggungan.”
c. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada
tanggungan.”
2. Istishhab berdasarkan hukum syara’
Sesuai
dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan
oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap
rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh
(mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini
telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama
berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain.
Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu,
pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari
istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
a. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak
akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
b. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum
yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang
mengubahnya.”
c. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum
yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang
mengubahnya.”
D. Kaidah-Kaidah
Istishab dan Penerapannya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
1.
|
الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap
(hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang
merubahnya.”
|
2.
|
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu
boleh.”
|
3.
|
الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari
beban.”
|
4.
|
بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin,
maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali
dengan yakin juga.”
|
Maka orang yang yakin bahwa ia masih
mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih
mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama
dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut
mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh
keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan
mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus
dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
Ø Contoh
Istishab:
Telah
terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah
itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara
A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
Ø Sumber:
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu
ushul fiqh. Bandung:
Gema Risalah Press. 1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul
fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Syukur, Syarmin. Sumber-sumber
hukum Islam: ilmu ushul fiqih perbandingan. Surabaya: Al Ikhlas.
1993.
Usman, Iskandar. Istihsan
dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994.
No comments:
Post a Comment