Lalu lalang peristiwa yang sedap, tak pernah menyurutkan semangat juangnya untuk terus berkarya dan mencari nafkah. Bersama semangat kebersamaan gerombolan burung kecil, ia tak kenal lelah dalam mencari tingkat kehidupan yang layak. Demi keluarga, demi hidup yang tidak pernah dianggap berharga oleh sebagian besar kaum dominan di luar sana. Mungkin memang melelahkan, dan menjenuhkan. Tetapi apa daya? Karena bagaimanapun juga, perjuangan harga diri adalah yang utama.
Negeri ini . . . , mungkin tak patut jika dikatakan “kejam”. Tetapi memang itu kenyataannya. Hampir tidak ada keadilan, bahkan terlalu berat sebelah dalam perlakuan terhadap rakyat-rakyatnya. Entah kemana keadilan itu? Atau memang ia bersembunyi dibalik tirai yang selalu dipuja-puja setiap kaum di seluruh penjuru. Yang mana tirai itu adalah harta. Harta memang indah, dan begitu mempesona, hingga para panutan pun tergila-gila pada harta. Tak peduli jabatan, pendidikan, atau apapun lah . . . , asalkan ada harta, ia menjadi utama.
Memang negeri ini kejam, tetapi tak menjadi penghalang lagi seorang bocah berusia 12 tahun dalam menjalani hidupnya. Pagi itu, ia beranjak dari tempat peraduannya yang selalu ia sebut dengan “Istana Kardus”. Perjalanannya pagi itu, beriring dengan sang mentari yang tersenyum riang, cahayanya yang tak surut, menyapu kabut dan awan hitam yang telah menumpahkan hujan sepanjang malam. Sebenarnya ia terheran, dengan hujan deras semalaman, tanpa sedikitpun istana kardusnya terkoyak. Tetapi, dengan senyum riangnya, ia bersyukur dalam hati atas kebesaran Allah SWT.
Rumah kardus itu, begitu berharga bagi dia dan orang-orang yang senasib dengannya. Dinding-dinding kardus yang telah mengayominya, bak perisai emas yang tak ternilai harganya. Kardus yang bagi sebagian orang hanyalah sampah, tetapi begitu berfaedah bagi bocah itu. Istana cokelat susu yang berhiaskan kertas berita, beratapkan secuil papan dan berlantaikan bumi yang begitu alami, selalu menampung keberasamaan mereka dalam suka dan duka, dalam tangis, maupun tawa. Karena prinsip mereka “Rumahku istanaku”.
Mungkin sulit untuk membayangkan. Pada logikanya, tidak mungkin ada rasa nyaman ketika kita harus hidup didalam rangkaian kardus. Telebih lagi mereka-mereka ayang berhunian pada gedung-gedung pencakar langit. Mungkin mereka bisa dengan gampang mengikrarkan bahwa “Kardus-kardus dan seisinya itu hanyalah sampah”. Mereka tidak pernah berpikir untuk hidup seperti mereka, padahal roda kehidupan tidak berhenti berputar sebelum kehidupan ini berhenti.
Sekali lagi tidak pada semangat bocah itu untuk surut atas hinaan. Baginya, hinaan itu hanya ujian, dan . . . . yah . . . . sebagai angina lalu saja lah . . . . karena jika di masukkan dalam hati, bawaannnya hanya meningkatkan emosi. Ia terus melangkah, mejauh dari huniannya yang elit (eling wong alit), yang artinya ingat orang kecil. Sandal karet tipisnya menjaganya dari tajamnya kerikil yang menghalang rintang di sepanjang jalan. Bersama kawan-kawan senasibnya, ia menyusuri jalur aspal yang telah hancur. Melawan arah angin yang berhembus dari pesisir selatan. Awan putih yang berbinar atas pantulan sang surya, menghiasi indahnya hari yang harus mereka arungi.
Berbekal kantong bekas permen dan instrument merdu karya sendiri, mereka mengadu bakat ditengah riuknya lalu lintas kota. Wajah-wajah polos mereka selalu bisa mempesona manusia-manusia berhati mulia. Tak ketinggalan senandung-senandung riang yang menggugah semangat, mereka lantunkan dengan indahnya. Hingga sebagian besar manusia yang mendengarkan, juga turut bergeleng-geleng seraya menikmati alunan musik tersebut. Dari sana, tak sedikit recehan yang mereka dapatkan.
Namun tak setiap saat mereka bernasib baik. Kadang nasib membawa mereka ke dalam lembah ketidak beruntungan. Hal itu terjadi ketika orang-orang yang mereka temui berrautkan akan kesinisan. Mereka justru orang-orang berharta banyak, tetapi miskin. Ketika bocah-bocah itu berdendang, para konglomerat bermobil mulus itu menutup rapat kaca mobil mereka. Itu masih mendingan, terkadang mereka menerima perolokan yang menyayat hati, atau bahkan cipratan ludah busuk terkadang tak segan untuk dibagikan. Yah . . . . namanya juga manusia-manusia “goleklemah” (golongan ekonomi lemah).
Tetapi nasib baik kali ini berpihak pada mereka. Senyum sapa dan keramahan memenuhi hari mereka. Hujan logam recehan tak segan mengguyur menyejukkan mereka. Pujian-pujian manispun terbesit dari manusia-manusia bersahaja. Mungkin memang hari ini, hari bersahaja. Merekapun selalu berharap tidak ada preman pasar yang menghampiri mereka untuk mengambil hasil jerih payah mereka.
Lagi-lagi . . . . ini Indonesia, dibalik rumah-rumah kardus, tersembunyi gedung-gedung pencakara langit yang kokoh, mewah, serta menawan. Eh . . . . sebaliknya dheng . . . . dibalik gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi rumah-rumah kardus. Sungguh kejam, negeri yang terlihat begitu eksotik, kaya, sukses dan mengangumkan, ternyata memiliki rakyat yang hidupnya jauh dari kelayakan. Tipu daya yang begitu nyata dan mengena. Sama seperti pejabat-pejabatnya, yang kelihatan arif dan bijaksana, tetapi hatinya tak lebih baik dari gumpalan tahu yang dikerumuni jamur-jamur Aspergillus Flavus, ringan tetapi mematikan. Huft . . . . , memang dalamnya hati, siapa tau?
Kali ini, gerombolan bocah-bocah itu berarak mengelilingi kota. Hitung-hitung cuci mata, dengan memandangi gedung-gedung bertingkat, dan barisan mobil-mobil mewah yang bernilai banyak ratus juta, dech . . . . ya . . . . meski tidak pada semua tempat mereka bisa berekspresi . . . . Asalkan mereka dapat mengembangkan senyuman, itu sudah menjadi hal yang begitu berharga. Buat mereka, juga buatku, yang hanya bisa merasa miris ketika memperhatikan mereka.
Kini, hiasan kilau fajar tua cukup menyengat pori-pori. Angin yang menyambar cukup kencang pun, tak terasa segar. Hanya tiupan angina panas yang menerpa mereka. Debu dan kepulan asap kendaraan berterbangan diudara dengan lincahnya. Refleksi radiasi matahari menambah kehangatan yang diluar batas. Hingga mata-mata telanjang mereka, tak kuasa menahan pupil agar tak mengecil. Namanya juga kota, sama sekali tidak ada sumber yang menyehatkan. Meski demikian, bocah-bocah itu tetap tidak menghentikan langkah mereka.
Hari sudah cukup terik, dan panas begitu terasa ke sanubari. Bocah-bocah itu kini bak bermandikan keringat. Mereka begitu tangguh, tak kenal lelah mencari nafkah hingga harus memeras peluh. Meski demikian, apakah para pengemuka-pengemuka negara tahu, atau peduli dengan keberadaan dan nasib mereka? Entahlah . . . .
Sebenarnya, mereka adalah bocah-bocah yang luar biasa. Sayang juga, jika keberatan mereka harus disia-siakan. Tanpa henti mereka melangkah, bermain musik, bernyanyi, dan yang pasti, bergembira.
Langkah demi langkah, mereka rangkai menelusuri jalan mulus yang begitu panas. Sembari memburu pepohonan rindang di tepi jalan yang dapat mengayomi raga mereka dari buruan radiasi matahari. Canda dan tawa mereka, menghapus kenyataan yang ada dalam hidup mereka. Tak ada gundah, dan penderitaan. Yang ada hanya kebahagiaan.
Dalam pelangkahan kaki mereka, mereka berpapasan dengan seorang nenek tua. Tepatnya pada sebuah taman kota, dalam keramaian. Nenek tersebut mejajakan es teh manis yang memikat selera. Karena kasihan, dan suasana begitu mendukung, mereka mengambil sebagian hasil usaha mereka untuk membeli es the. Nenek tersebut begitu bahagia, sembari berucap, “Terima kasih nak . . . . , semoga cita-cita kalian tercapai . . . . “. Kemudian nenek itu pergi.
Sembari melepas lelah, bocah-bocah itu menikmati es teh yang mereka beli dari nenek dengan bersandar di bawah pohon klengkeng yang rimbun. Angin semilir yang segar, tiba-tiba datang menghampiri mereka membawa kenyamanan. Tak sedikit orang-orang yang seprofesi dengan bocah-bocah itu, berada dalam satu lokasi. Selain itu, PKL (Pedagangn Kaki Lima) dan pedagang-pedagang lain yang segolongan, juga banyak membanjiri daerah itu. Entah, kenapa profesi mereka seperti itu. Ataukah semuanya memang karena faktor ekonomi, atau ada faktor-faktor lain? Begitu membingungkan buatku.
Di dalam gedung-gedung elok itu, tersimpan manusia-manusia penting. Harta melimpah, rumah bagus, mobil mewah, baju pun juga mahal. Tetapi, walau demikian, mereka masih merasa miskin. Kaya raya, bukan hal yang dapat menghapus sifat “Ketikusan” mereka. Ya . . . . bisa dibilang “Tikus berdasi”. Kaya, tetapi masih berjiwa “Maling”. Terlebih pada pejabat-pejabat Negara. Mereka tidak pernah berkaca terhadap sifat otoriter yang mereka punya. Begitu banyak aturan dibuat untuk rakyat, tetapi mereka berbuat laknat. Benar-benar “Bejat”.
Di sini, rakyat kecil berjuang mati-matian hanya untuk mengorek sesuap nasi. Ya . . . . sebisa mungkin mereka berusaha agar tidak menjadi kaum miskin absolute. Apa saja mereka lakukan, untuk menyambung hidup.
Sedangkan disana, para “Jaswan” & “Jaswan”, “Dasiwan” dan “Dasiwan” hidup berfoya-foya. Bahkan, modal foya-foya itu sebenarnya adalah hak rakyat kecil. Begitu tak bermoralnya bangsa ini. Maling besar-besaran tak kena pidana, sedangkan maling yang bisa diibaratkan sebesar Amoeba saja, bisa dibabakbelurkan. Kemana sudah tertular virus “Matre”?
Bocah-bocah kecil seusia mereka, harusnya dapat diberi kesempatan yang besar untuk menuntut ilmu. Tapi apa daya? Tak ada dana . . . .
Kabarnya, pendidikan dasar, ada dana dari pemerintah. Tetapi, kenapa masih banyak anak yang tidak dapat bersekolah? Lagi-lagi . . . ., entahlah . . . .
Negeri ini, memang porak poranda secara rohani. Tapi, biarlah . . . . , yang penting mereka “goleklemah” dapat beristirahat sejenak ditengah kesibukan mereka.
Dalam kedamaian, bocah-bocah itu beristirahat dan berangan tentang mimpi masing-masing. Pastinya, banyaklah mimpi anak-anak. Ditengah kesantaian, tiba-tiba bergema suara sirine yang paling tidak disukai oleh mereka. Hampir semua orang di area itu terkejut, dan kebingungan. Hingga peristirahatan merekapun berakhir dengan kacau.
Dan seperti peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Sekelompok oknum meyebalkan mengganggu aktivitas mereka. Orang yang kecil itu pun bertebaran kesegala penjuru untuk melindungi diri dan terbebas dari oknum tersebut.
Bersambung.............
No comments:
Post a Comment