Monday, January 2, 2012

CERITA NEGERIKU . . . AKANKAH LEKANG OLEH WAKTU? (full version)

Lalu lalang peristiwa yang tak sedap, tak pernah menyurutkan semangat juangnya untuk terus berkarya dan mencari nafkah. Bersama semangat kebersamaan gerombolan burung kecil, ia tak kenal lelah dalam mencari tingkat kehidupan yang layak. Demi keluarga, demi hidup yang tidak pernah dianggap berharga oleh sebagian besar kaum dominan di luar sana. Mungkin memang melelahkan, dan menjenuhkan. Tetapi apa daya? Karena bagaimanapun juga, perjuangan harga diri adalah yang utama.

Negeri ini . . . , mungkin tak patut jika dikatakan “kejam”. Tetapi memang itu kenyataannya. Hampir tidak ada keadilan, bahkan terlalu berat sebelah dalam perlakuan terhadap rakyat-rakyatnya. Entah kemana keadilan itu? Atau memang ia bersembunyi dibalik tirai yang selalu dipuja-puja setiap kaum di seluruh penjuru. Yang mana tirai itu adalah harta. Harta memang indah, dan begitu mempesona, hingga para panutan pun tergila-gila pada harta. Tak peduli jabatan, pendidikan, atau apapun lah . . . , asalkan ada harta, ia menjadi utama.
Memang negeri ini kejam, tetapi tak menjadi penghalang bagi seorang bocah berusia 12 tahun dalam menjalani hidupnya. Pagi itu, ia beranjak dari tempat peraduannya yang selalu ia sebut dengan “Istana Kardus”. Perjalanannya pagi itu, beriring dengan sang mentari yang tersenyum riang, cahayanya yang tak surut, menyapu kabut dan awan hitam yang telah menumpahkan hujan sepanjang malam. Sebenarnya ia terheran, dengan hujan deras semalaman, tanpa sedikitpun istana kardusnya terkoyak. Tetapi, dengan senyum riangnya, ia bersyukur dalam hati atas kebesaran Allah SWT.
Rumah kardus itu, begitu berharga bagi dia dan orang-orang yang senasib dengannya. Dinding-dinding kardus yang telah mengayominya, bak perisai emas yang tak ternilai harganya. Kardus yang bagi sebagian orang hanyalah sampah, tetapi begitu berfaedah bagi bocah itu. Istana cokelat susu yang berhiaskan kertas berita, beratapkan secuil papan dan berlantaikan bumi yang begitu alami, selalu menampung keberasamaan mereka dalam suka dan duka, dalam tangis, maupun tawa. Karena prinsip mereka “Rumahku istanaku”.
Mungkin sulit untuk membayangkan. Pada logikanya, tidak mungkin ada rasa nyaman ketika kita harus hidup didalam rangkaian kardus. Telebih lagi mereka-mereka yang berhunian pada gedung-gedung pencakar langit. Mungkin mereka bisa dengan gampang mengikrarkan bahwa “Kardus-kardus dan seisinya itu hanyalah sampah”. Mereka tidak pernah berpikir untuk hidup seperti mereka, padahal roda kehidupan tidak berhenti berputar sebelum kehidupan ini berhenti.
Sekali lagi tidak pada semangat bocah itu untuk surut atas hinaan. Baginya, hinaan itu hanya ujian, dan . . . . yah . . . . sebagai angin lalu saja lah . . . . karena jika di masukkan dalam hati, bawaannnya hanya meningkatkan emosi. Ia terus melangkah, mejauh dari huniannya yang elit (eling wong alit), yang artinya ingat orang kecil. Sandal karet tipisnya menjaganya dari tajamnya kerikil yang menghalang rintang di sepanjang jalan. Bersama kawan-kawan senasibnya, ia menyusuri jalur aspal yang telah hancur. Melawan arah angin yang berhembus dari pesisir selatan. Awan putih yang berbinar atas pantulan sang surya, menghiasi indahnya hari yang harus mereka arungi.
Berbekal kantong bekas permen dan instrument merdu karya sendiri, mereka mengadu bakat ditengah riuknya lalu lintas kota. Wajah-wajah polos mereka selalu bisa mempesona manusia-manusia berhati mulia. Tak ketinggalan senandung-senandung riang yang menggugah semangat, mereka lantunkan dengan indahnya. Hingga sebagian besar manusia yang mendengarkan, juga turut bergeleng-geleng seraya menikmati alunan musik tersebut. Dari sana, tak sedikit recehan yang mereka dapatkan.
Namun tak setiap saat mereka bernasib baik. Kadang nasib membawa mereka ke dalam lembah ketidak beruntungan. Hal itu terjadi ketika orang-orang yang mereka temui berrautkan akan kesinisan. Mereka justru orang-orang berharta banyak, tetapi miskin. Ketika bocah-bocah itu berdendang, para konglomerat bermobil mulus itu menutup rapat kaca mobil mereka. Itu masih mendingan, terkadang mereka menerima perolokan yang menyayat hati, atau bahkan cipratan ludah busuk yang terkadang tak segan untuk dibagikan. Yah . . . . namanya juga manusia-manusia “goleklemah” (golongan ekonomi lemah).
Tetapi nasib baik kali ini berpihak pada mereka. Senyum sapa dan keramahan memenuhi hari mereka. Hujan logam recehan tak segan mengguyur menyejukkan mereka. Pujian-pujian manispun terbersit dari manusia-manusia bersahaja. Mungkin memang hari ini, hari bersahaja. Merekapun selalu berharap tidak ada preman pasar yang menghampiri mereka untuk mengambil hasil jerih payah mereka.
Lagi-lagi . . . . ini Indonesia, dibalik rumah-rumah kardus, tersembunyi gedung-gedung pencakara langit yang kokoh, mewah, serta menawan. Eh . . . . sebaliknya dheng . . . . dibalik gedung-gedung pencakar langit, tersembunyi rumah-rumah kardus. Sungguh kejam, negeri yang terlihat begitu eksotik, kaya, sukses dan mengangumkan, ternyata memiliki rakyat yang hidupnya jauh dari kelayakan. Tipu daya yang begitu nyata dan mengena. Sama seperti pejabat-pejabatnya, yang kelihatan arif dan bijaksana, tetapi hatinya tak lebih baik dari gumpalan tahu yang dikerumuni Aspergillus Flavus, ringan tetapi mematikan. Huft . . . . , memang dalamnya hati, siapa tau?
Kali ini, gerombolan bocah-bocah itu berarak mengelilingi kota. Hitung-hitung cuci mata, dengan memandangi gedung-gedung bertingkat, dan barisan mobil-mobil mewah yang bernilai banyak ratus juta, dech . . . . ya . . . . meski tidak pada semua tempat mereka bisa berekspresi . . . . Asalkan mereka dapat mengembangkan senyuman, itu sudah menjadi hal yang begitu berharga. Buat mereka, juga buatku, yang hanya bisa merasa miris ketika memperhatikan mereka.
Kini, hiasan kilau fajar tua cukup menyengat pori-pori. Angin yang menyambar cukup kencang pun, tak terasa segar. Hanya tiupan angin panas yang menerpa mereka. Debu dan kepulan asap kendaraan berterbangan diudara dengan lincahnya. Refleksi radiasi matahari menambah kehangatan yang diluar batas. Hingga mata-mata telanjang mereka, tak kuasa menahan pupil agar tak mengecil. Namanya juga kota, sama sekali tidak ada sumber yang menyehatkan. Meski demikian, bocah-bocah itu tetap tidak menghentikan langkah mereka.
Hari sudah cukup terik, dan panas begitu terasa ke sanubari. Bocah-bocah itu kini bak bermandikan keringat. Mereka begitu tangguh, tak kenal lelah mencari nafkah hingga harus memeras peluh. Meski demikian, apakah para pengemuka-pengemuka negara tahu, atau peduli dengan keberadaan dan nasib mereka? Entahlah . . . .
Sebenarnya, mereka adalah bocah-bocah yang luar biasa. Sayang juga, jika keberadaan mereka harus disia-siakan. Tanpa henti mereka melangkah, bermain musik, bernyanyi, dan yang pasti, bergembira.
Langkah demi langkah, mereka rangkai menelusuri jalan mulus yang begitu panas. Sembari memburu pepohonan rindang di tepi jalan yang dapat mengayomi raga mereka dari buruan radiasi matahari. Canda dan tawa mereka, menghapus kenyataan yang ada dalam hidup mereka. Tak ada gundah, dan penderitaan. Yang ada hanya kebahagiaan.
Dalam pelangkahan kaki mereka, mereka berpapasan dengan seorang nenek tua. Tepatnya pada sebuah taman kota, dalam keramaian. Nenek tersebut mejajakan es teh manis yang memikat selera. Karena kasihan, dan suasana begitu mendukung, mereka mengambil sebagian hasil usaha mereka untuk membeli es teh. Nenek tersebut begitu bahagia, sembari berucap, “Terima kasih nak . . . . , semoga cita-cita kalian tercapai . . . . “. Kemudian nenek itu pergi.
Sembari melepas lelah, bocah-bocah itu menikmati es teh yang mereka beli dari nenek dengan bersandar di bawah pohon klengkeng yang rimbun. Angin semilir yang segar, tiba-tiba datang menghampiri mereka membawa kenyamanan. Tak sedikit orang-orang yang seprofesi dengan bocah-bocah itu, berada dalam satu lokasi. Selain itu, PKL (Pedagangn Kaki Lima) dan pedagang-pedagang lain yang segolongan, juga banyak membanjiri daerah itu. Entah, kenapa profesi mereka seperti itu. Ataukah semuanya memang karena faktor ekonomi, atau ada faktor-faktor lain? Begitu membingungkan buatku.
Di dalam gedung-gedung elok itu, tersimpan manusia-manusia penting. Harta melimpah, rumah bagus, mobil mewah, baju pun juga mahal. Tetapi, walau demikian, mereka masih merasa miskin. Kaya raya, bukan hal yang dapat menghapus sifat “Ketikusan” mereka. Ya . . . . bisa dibilang “Tikus berdasi”. Kaya, tetapi masih berjiwa “Maling”. Terlebih pada pejabat-pejabat Negara. Mereka tidak pernah berkaca terhadap sifat otoriter yang mereka punya. Begitu banyak aturan dibuat untuk rakyat, tetapi mereka berbuat laknat. Benar-benar “Bejat”.
Di sini, rakyat kecil berjuang mati-matian hanya untuk mengorek sesuap nasi. Ya . . . . sebisa mungkin mereka berusaha agar tidak menjadi kaum miskin absolute. Apa saja mereka lakukan, untuk menyambung hidup.
Sedangkan disana, para “Jaswan” & “Jaswati”, “Dasiwan” dan “Dasiwati” hidup berfoya-foya. Bahkan, modal foya-foya itu sebenarnya adalah hak rakyat kecil. Begitu tak bermoralnya bangsa ini. Maling besar-besaran tak kena pidana, sedangkan maling yang bisa diibaratkan sebesar Amoeba saja, bisa dibabakbelurkan. Kemana perginya keadilan? Apakah hukumpun sudah tertular virus “Matre”?
Bocah-bocah kecil seusia mereka, harusnya dapat diberi kesempatan yang besar untuk menuntut ilmu. Tapi apa daya? Tak ada dana . . . .
Kabarnya, pendidikan dasar, ada dana dari pemerintah. Tetapi, kenapa masih banyak anak yang tidak dapat bersekolah? Lagi-lagi . . . ., entahlah . . . .
Negeri ini, memang porak poranda secara rohani. Tapi, biarlah . . . . , yang penting mereka “goleklemah” dapat beristirahat sejenak ditengah kesibukan mereka.
Dalam kedamaian, bocah-bocah itu beristirahat dan berangan tentang mimpi masing-masing. Pastinya, banyaklah mimpi anak-anak. Ditengah kesantaian, tiba-tiba bergema suara sirine yang paling tidak disukai oleh mereka. Hampir semua orang di area itu terkejut, dan kebingungan. Hingga peristirahatan merekapun berakhir dengan kacau.
Dan seperti peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Sekelompok oknum meyebalkan mengganggu aktivitas mereka. Orang yang kecil itu pun bertebaran kesegala penjuru untuk melindungi diri dan terbebas dari oknum tersebut. Kasian....., kasian......, kasian....(‘_’)
Tak dapat dipungkiri, tak dapat dihindari. Cuaca panas yang begitu menyengat, semakin berkobar membakar kegelisahan rasa. Hingga pada akhirnya hanya satu dari sekelompok bocah itu, yang dapat lolos dari jaring derita oknum tak berperikemanisiaan yang berperan sebagai petugas Tramtib, atau apalah??? Terserah ,,,, hehehe,,,,,
Berbondong-bondong mereka diarak bersama dengan rekan-rekan lain yang seprofesi, menuju markas ptugas keamana itu. Tak hanya itu, petugas tersebut pun memperlakukan mereka dengan sangat kasar. Bahkan, dagangan mereka pun tak terhindar dari penghancuran masal. Memang negara ini sudah Krisis akan Moral.
Seharusnya, pemerintah tidak semena-mena terhadap rakyat kecil. Main bikin aturan seenaknya, tetapi tidak peduli akan nasib rakyat. Pedagang di jalanan, dilarang. Tapi apa pernah mereka memberikan solusi untuk pekerjaan lain.....? sepertinya tidak...
Rakyat kecil dilarang berjualan di tempat umum, ngamen, atau lainnya lah.... tetapi apa pemerintah peduli darimana mereka bisa mendapatkan isi perut....? Memangnya rakyat kecil bisa hidup dengan perut kosong....? Huh....., sepertinya kurang pantas untuk dijawab....
Didalam kota yang penuh kemewahan, manusia-manusia yang perutnya terisi penuh dengan harta, masih saja menjejalinya dengan gumpalan dosa..... Dosa yang mereka ubah atas hak rakyat kecil. Sungguh mengenaskan......
Tak akan habis ketika kita terus membahas kehancuran moral negeri ini.....
Salah satu dari germbolan bocah tadi, bergegas melarikan diri bersama orang-orang yang memang tak ingin ditangkap oleh petugas. Mereka mencoba berlari dan sesegera mungkin menghilangkan diri dari pandangan para petugas.
Terengah-engah....., terlunta-lunta...., dan yang pasti....menderita......
Angin panas yang bertiup cukup kencangpun, terkalahkan oleh semangat juang mereka yang berusaha mencapai kebebasan. Kobaran kegelisahan mereka tak cukup bisa dipadamkan oleh keringat yang bercucuran..... Segala sesuatu, mereka terjang demi kebebasan......
Dan kini, akhirnya seorang bocah tersebut telah sampai pada tempat tinggalnya.... Sambil terengah-engah, ia berteriak dengan nada tak biasa..... Ia meluapkan amarah, kekesalan, serta emosi yang begitu nyata.....
Dengan lantang dan penuh ambisi, ia berucap kata demi kata. Satu persatu kalimat ia sampaikan kepada keluarga sekardus. Kalimat yang berisikan kabar yang dapat mengorek luka hati.......
“Pak......, mereka dibawa oleh Tramtib....”, keluh si bocah sambil mengurai peluh yang telah dikombinasikan dengan derasnya air mata.
Mengingat bahwa kejadian tersebut tak terjadi hanya sekali, warga penghuni Istana Kardus itu pun mengobarkan semangat juang atas ketidakberperikemanusiaanya aparat keamanan. Mereka hanya bisa menuntut hak pribadi mereka dan merampas hak rakyat kecil. Tetapi mereka tidak pernah memikirkan nasib rakyat tanpa adanya hak.
Akhirnya mereka berbondong-bondong menuju markas petugas ketentraman dan ketertiban...... Dengan langkah pasti, tanpa ragu bersama semangat membara yang sekeras batu...... mereka berupaya menegakkan aspirasi yang mereka miliki.
Dan kini, tibalah hentakan keras kaki mereka di halaman markas petugas keamanan itu. Sorak sorai penderitaan rakyat kecil yang mereka bersitkan, mulai menggenangi ketenteraman para petugas. Hingga pada akhirnya....., para penghuni markas itu keluar dengan wajah yang benar-benar tak patut diindahkan untuk dilirik sekalipun......
Para petugas yang tak ingin diganggu, berusaha keras menyingkirkan “sampah-sampah” isi kardus itu. Dengan cacian dan omelan “busuk”, mereka mengembangkan amarah dalam pikiran mereka yang sudah diluar batas perikemanusiaan....... Hingga pada akhirnya, kembali terdengar sirine mobil patroli dari pihak berwajib yang berkedudukan lebih tinggi.
Mereka semua kaget, karen polisi tiba-tiba datang tanpa diundang. Namun pimpinan Trantib merasa bangga, karena ia berharap polisi akan membantunya menggusir masyarakat-masyarakat tak berharga itu.....
Dan ternyata........, sesuatu tak terduga terjadi........
Mobil polisi itu, hadir atas sebuah perintah penagkapan tersangka kasus KKN. Hahaha...... (maklum, Indonesia gitoe.......{^_^})......
Wah.... wah.... wah..... Dan ternyata lagiii......, perintah penagkapan itu ditujukan pada pimpinan Tramtib......[aphaaaaaa.....?????]
Ia terlibat kasus penggelapan dana pemerintah yang seharusnya disalurkan untuk rakyat kecil....... Namun ia tak sendiri..... Kini, di sel tahanan sudah ada Pak Walkot (Walikota) yang ternyata telah menjadi dalang dari penggelapan itu.
Hancur....., hancur....... Huft....., mau jadi apa negeri ini....(*_*)???
Akhirnya, pak pimpinan tadi dibawa oleh polisi dengan paksa karena ia berusaha untuk mengelak.....
Dan....., polisi tak bisa berbuat banyak atas rakyat-rakyat tak berdaya itu..... Mereka hanya dibebaskan begitu saja tanpa kata lain, selain.... “kalian boleh keluar”.....
Kalimat monoton yang paling mudah diucapkan......
Tanpa solusi, nasihat, atau apapun.... mereka pergi meninggalkan markas itu..... Polisi juga bergegas pergi ke kantornya sendiri, tanpa peduli akan nasib rakyat-rakyat itu selanjutnya.... Yah...., untuk apa peduli....? Lebih asik juga mikirin diri sendiri.... hehe.... Wong gaji juga nggak naik kok, kalo ikut mikirin mereka.... HoHO..... (#sedeng)
Kalau diteruskan membahas polisi....., ntar nggak ada habisnya.... Karena tidak akan terputus mengenai kekurangan Moral di negeri ini dari segala aspek kehidupan. Yang terpenting, penghuni-penghuni kardus itu dapat bebas dan berekspresi sesuka hati, sebelum ada yang mengganggu lagi.....
Hai....hai.....hai....., good luck negeriku..... semoga kesuksesanmu akan “Krisis Moral” segera berakhir......

See You in the next Episode......

No comments:

Post a Comment