BAB I
PENDAHULUAN
Perbankan
syariah merupakan lembaga perbankan yang beropersi berdasarkan prinsip syariah.
Maka, setiap unsur yang ada dalam bank syariah tentu berbeda dengan bank-bank
konvensional.
Dalam
pendirian bank syariah, hal utama yang dipikirkan adalah hukum. Maka, tidak
sedikit hukum di Indonesia yang mengatur tentang bank syariah. Hukum tersebut
berlaku sejak rencana pendirian hingga operasional bank syariah.
Kegiatan
bank syariah harus berjalan sesuai dengan syariat Islam. Begitu banyak
bank-bank syariah yang berdiri di Indonesia saat ini. Hingga pada akhirnya,
manusia dituntut untuk mengetahui sistem kerja bank syariah, ketika inggin
menggunakan jasa bank syariah.
Di
dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang akad-akad syariah dalam sistem
perbankan. Akad-akad tersebut yang membedakan bank syariah dengan bank
konvensional. Karena akad-akad tersebut menjadi bentuk-bentuk dasar persional
bank syariah agar sesuai dengan syari’at Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan akad ?
2.
Apa
sajakah rukun dan syarat akad?
3.
Apakah
tujuan diadakannya akad?
4.
Apa
sajakah macam-macam akad?
5.
Bagaimanakah
penjelasan tentang akad Tabarru’?
6.
Bagaimanakah
penjelasan tentang akad Tijarah?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan
masalah diatas, dapat dirumuskan tujuan sebagai berikut :
1.
Mengetahui
apa itu Akad,
2.
Mengetahui
Rukun-rukun Akad,
3.
Mengetahui
tujuan diadakannya Akad
4.
Mengetahui
macam-macam Akad
5.
Mengetahui
tentang Akad Tabarru’
6.
Mengetahui
tentang Akad Tijarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akad
Secara
etimologi, akad berarti perikatan, perjanjian. Sedangkan pengertian akad secara
terminologi adalah suatu perikatan yang ditetapkan dengn ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Istilah akad
terdapat dalam Al-Qur’an, antara lain (Q.S. Al-Maidah : 1):
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4
“Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
Dari
pengertian tentang akad diatas, dapat diambil ketentuan hukum bahwa setiap
perjanjian yang dibuat secara sah, berarti mengikat bagi yang membuatnya.
Karena setiap perjanjian pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Islam
menganjurkan umatnya untuk memenuhi akad yang telah dibuat, selama tidak
bertentangan dengan prinsip syariat. Untuk menghindari kelalaian dalam akad,
seseorang dituntut agar memiliki kemauan yang kuat. Karena pada dasarnnya orang
yang berjanji setia kepada sesama, sesungguhnya mereka telah berjanji setia
kepada Allah SWT. Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janjinya, niscaya akibat pelanggaran janji itu akan menimpa dirinya
sendiri, begitu pula sebaliknya barang siapa menepati janjinya kepada Allah,
maka Allah akan memberinya pahala yang besar. [1]
B.
Rukun dan Syarat Akad
1.
Rukun Akad
Menurut
pendapat jumhur, rukun-rukun akad terbagi menjadi :
a.
Al-Aqid merupakan
subjek hukum yang menjalankan akad. Subjek hukum berarti perbuatan manusia yang
dituntut oleh Allah berdasarkan hukum syara’.
b.
Sighat Al-‘Aqd
merupakan ijab qabul yang diadakan untuk menunjukkan terjadinya akad (ijab
kabul dalam akad).
c.
Mahallul ‘Aqd
merupakan objek suatu perikatan. Sesuatu yang dapat dijadikan objek dalam akad
ialah dapat berupa benda dan atau manfaat. [2]
2.
Syarat Akad
Syarat-syarat akad adalah sebagai berikut :
a.
Terjadinya
Akad (In’iqad)
·
Ketentuan
umum berupa persyaratan yang terdapat dalam rukun-rukun akad.
·
Ketentuan
khusus berupa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi oleh suatu akad khusus.
b.
Keabsahan
Akad (Shahih)
Suatu
akad dinilai sah oleh syara’ kalau ada kesesuaian dengan rukun dan syarat yang
telah ditetapkan oleh hukum syara’.
c.
Pelaksanaan
Akad (Nafadz)
·
Kepemilikan
sempurna dari seseorang terhadap barang atau manfaat yang dujadikan objek akad.
·
Kecakapan
: kemampuan seseorang untuk melaksanakan akad, baik secara langsung maupun
perwakilan.
d.
Kepastian
Hukum (Luzum)
Suatu
akad harus memililki kepastian hukum, sehingga tidak ada hak memilih (khiyar)
untuk meneruskan atau membatalkan (fasakh). [3]
C.
Tujuan Akad
Tujuan
akad (maudhu al-‘aqd) ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri.
Ditinjau dari segi aqidah, yang menentukan keabsahan suatu akad merupakan niat
sebenarnya tentang tujuan yang akan dicapai. Ketentuan ini berdasarkan pada
kaidah hukum yang menegaskan bahwa segala sesuatu dinilai dengan apa yang
menjadi tujuannya.
Kaidah
ini merujuk kepada sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa : “Sesungguhnya
amalan itu tergantung dari pada niatnya. Dan setiap perbuatan seseorang akan
dinilai sesuai dengan apa yang diniatkan.(H.R. Bukhari)”
Untuk
menjamin tercapainya kemaslahatan serta menghindari kemudharatan, para fuqaha
menegaskan bahwa semua perbuatan yang mengandung tujuan masyru’
(bertentangan dengan hukum syara’), sehingga meninggalkan kemudharatan, maka
hukumnya haram. [4]
D.
Macam-Macam Akad
Dari segi ada atau tidaknya kompensasi, fikih muamalat membagi akad
menjadi 2 (dua), yakni akad Tabarru’ dan akad Tijarah/Mu’awadah.[5]
1.
Akad Tabarru’[6]
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala
macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi
nirlaba). Istilah Tabarru’ secara bahasa berarti kebaikan, sebagaimana
terdapat dalam firman Allah (Q.S. Al-Maidah : 2) :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
“....dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.....”
Pada
hakekatnya, akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang
mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan komersil.
2.
Akad
Tijarah
Dalam fikh, usaha untuk mendapatkan
keuntungan dikenal dengan istilah tijarah. Akad tijarah merupakan
akad yang bertujuan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang
telah ditetapkan oleh hukum syara’.
Dalam usaha untuk memudahkan pemahaman
terhadap prinsip-prinsip hukum terkait dengan akad tijarah yang terdapat dalam
hukum perbankan, maka tijarah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a.
Pertukaran (Jual
Beli) / Natural Certainty Contracts (NCC)
E.
Tentang Akad Tabarru
Dalam akad tabarru’,
pihak yang bertabarru’ tidak berhak menyaratkan imbalan apaun kepada pihak
lain. Imbalan akad tabarru’ ialah berupa pahala dari Allah, bukan
keuntungan dari manusia’.
Kerena itu, apabila tabarru’ diniatkan dan dilakukan dengan mengharapkan
keuntungan dari menusia, maka akad tersebut bukan lagi tabarru’ melainkan
tijarah.[8]
Pada bank syari’ah, akad tabarru’ dapat
dijalankan melalui penerapan qardul hasan, yaitu suatu produk
hukum yang memungkinkan bank syari’ah memberikan pinjaman kebaikan kepada orang
yang sangat membutuhkan[9].
Selain itu, perbankan syari’ah juga dapat menjalankan fungsi tabarru’ melalui
kegiatan infaq, shadaqah, zakat, dan lain-lain yang merupakan bagian dari
amalan ibadah.
Akad
tabarru’ mempunyai 3 (tiga) bentuk umum, yaitu :[10]
1.
Meminjamkan Uang (lending $)
Akad
meminjamkan uang dibagi setidaknya menjadi 3 jenis, antara lain :
ü Al-Qardh : pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain
mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk
meminjamkan uang.[11]
·
Landasan
Syariah (Q.S. At-Taghabun : 17)
bÎ) (#qàÊÌø)è? ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym çmøÿÏè»Òã öNä3s9 öÏÿøótur öNä3s9 4 ......
“ jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman
yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni
kamu. .....”
ü Rahn : dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyaratkan
suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian
pinjaman.[12]
·
Landasan
Syari’ah (Q.S. Al-Baqarah : 283)
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B .......
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang......”
ü Hawalah : Suatu bentuk pemberian pinjaman uang yang bertujuan untuk
mengambil alih piutang dari pihak lain.[13]
·
Landasan
Syari’ah (Q.S. Al-Baqarah : 280)
bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ
“ dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
2.
Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself)
Akad meminjamkan jasa terbagi juga atas 3 (tiga) jenis, yakni :
ü Wakalah : Menyerahkan kekuasaan kepada orang lain untuk dikerjakan. Islam
mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya[14].
Istilah wakalah terdapat dalam Q.S Ali-Imran : 173.
....... $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ
“........ "Cukuplah Allah menjadi
penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung".”
·
Wadi’ah diatur
dalam Al-Qur’an, diantaranya Q.S.An Nisa : 58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& .........
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya.....”
·
Wadi’ah juga
terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a.
Al-wadi’ah yad
al-amanah (Trustee Depsitory) : jenis akad penitipan, dimana pihak
penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang titipan.
b.
Al-wadi’ah yad
adh-dhamanah (Guarantee Depository) : jenis akad penitipan, dimana pihak
penerima titipan dapat menggunakan barang titipan.
ü Kafalah : menjadikan seseorang
sebagai penjamin (kafil) dalam pelunasan atau pembayaran (hutang) yang
menjadi tanggun jawab orang lain. Dengan kata lain, kafalah berarti jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua yang menjadi tanggungannya.[16]
Landasan Syari’ah (Q.S.Yusuf : 72)
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
72.
penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan
aku menjamin terhadapnya".
3.
Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut:
hibah,waqf, shadaqah, hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si
pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan
umum dan agama, maka akadnya dinamakan waqf. Objek waqf ini tidak
boleh diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqf. Sedangkan hibah
dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
F.
Tentang Akad Tijarah
Dalam pemahaman terhadap akad tijarah,
dibutuhkan alternatif tertentu untuk mempermudah pemahaman. Maka, akad tijarah
tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya :
1.
Teori
Pertukaran / Natural
Certainty Contracts (NCC)
Kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya,
karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan
di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality),
harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery).
Teori pertukaran dibagi atas 2 kategori, antara lain adalah akad Jual Beli dan
Sewa Menyewa :
a.
Akad
Murabahah : jual beli
barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang
disepakati.
b.
Akad
Salam : jual beli
barang berdasarkan pemesanan berdasarkan persyaratan dan kriteria tertentu
sesuai kesepakatan dan pembayaran tunai yang dilakukan dimuka.
c.
Akad
Istishna : jual beli
barang dalam bentukpemesanan pembuatan barang berdasarka persyaratan tertentu,
kriteria dan pola pembayaran ssesuai dengan kesepakatan. Dalam akad ini, kedua
belah pihak bersepakat apakah pembayaran akan dilakukan dimuka, melalui
angsuran, atau ditangguhkan sampai waktu tertentu yang akan datang.
d.
Akad
Sharf : Jual beli antara barang sejenis
secara tunai.
a.
Akad
Ijarah : transaksi
sewa-menyewa atas suatu barang, atau transaksi upah mengupah atas suatu jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.
·
Landasan
Syariah Akad Ijarah (Q.S.At-Thalaaq : 6)
...... ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
.........
“..... kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya......”
b.
IMBT
(Ijarah Muntahia Bittamlik) :
ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk
mengalihkan kepemilikan kepada penyewa.
c.
Akad
Ju’alah[19]
: imbalan tertentu yang diperoleh karena berjasa mengembalikan barang
tertentu yang hilang.
·
Landasan
Syariah (Q.S. Yusuf : 72)
........ `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
“....... dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya".
3.
Teori
Persekutuan / Natural
Uncertainty Contracts (NUC)
Pihak-pihak yang bertransaksi
saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets)
menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk
mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Jenis-jenis teori persekutuan, antara lain Musyarakah,
Mudharabah, Muzara’ah, Musaqah, dan Mukharabah.
v
Musyarakah[20]
Musyarakah merupakan bentuk kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan
nishbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung oleh para
pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.
v Landasan Syari’ah (Q.S. An- Nisaa’
: 12)
...... ôMßgsù âä!%2uà° Îû Ï]è=W9$# .....
“...... Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, .....”
v
Mudharabah[21]
Mudharabah merupakan akad kerjasama antara pemilik dana
(shahibul maal) dengan pengelolan dana (mudharib) untuk melakukan
kegiatan usaha dengan nishbah bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut
kesepakatan.
Kemudian apabila terjadi kerugian, resiko
dana akan ditanggung oleh pemilik modal selama bukan kelalaian pihak pengelola.
Namun apabila kerugian disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian pihak
pengelola, maka mereka harus mempertanggungjawabkan atas kerugian tersebut.
v Landasan Syari’ah (Q.S. Al-Baqarah
: 198)
}§øs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ ........
“
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu....... “
v Akad Mudharabah dibagi menjadi 2,
yaitu :
a. Mudharabah
Muthlaqah
Dalam prinsip ini, shahibul maal tidak
dapat memberikan batasan-batasan terhadap dana yang diinvestasikan. Dengan
demikian, mudharib diberi kewenangan penuh untuk mengelola dana tanpa
keterkaitan.
b.
Mudharabah Muqayyadah
Dalam akad ini, shahibul maal memberikan batasan terhadap
dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana sesuai
dengan permintaan atau persyaratan pemilik modal yang dapat berupa jenis usaha,
tempat dan waktu tertentu saja.
Muzara’ah merupakan
bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian dalam setahun.
v
Mukhabarah[23]
Mukhabarah merupakan
bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian, namun
bibitnya berasal dari pemilik tanah.
BAB III
PENUTUP
Ø
Kesimpulan
Dari
makalah didepan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
·
Perbankan
Syari’ah memiliki akad-akad yang dapat membedakannya dengan bank konvensional.
·
Akad
dalam bank syari’ah sebagai dasar operasional agar sesuai syari’at Islam.
·
Bank
syari’ah pada dasarnya memiliki dua Akad secara umun, yaitu akad Tabarru’
dan akad Tijarah
·
Akad
Tabarru’ dan akad Tijarah juga terbagi lagi atas beberapa bagian
yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
M. Syafi’i. . Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta : Taskia
Cendikia
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan.
Jakarta : Rajawali Pers.
Susanto, Burhanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia.
Yogyakarta : UII Press.
[1]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.222-224
[2]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.224-232
[3]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.234-236
[4]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.237-238
[5]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.238
[6] Ir.
Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan
Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm.65
[7] Ir.
Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan
Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 68-70
[8] Ir.
Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan
Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 64
[9]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm. 260
[10] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,,
Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm.66
[11]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.280
[12]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.278
[13]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.276-277
[14]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.274
[15] M.
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : 2001), hlm.
148-150
[16]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.275-276
[17]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm.271-272
[18] Ir.
Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan
Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 73
[19]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm. 281
[20]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm. 268-269
[21]
Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008),
hlm. 265-267
[22] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 77
[23] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm.77
No comments:
Post a Comment