Friday, May 2, 2014

AKAD SYARIAH DALAM SISTEM PERBANKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Perbankan syariah merupakan lembaga perbankan yang beropersi berdasarkan prinsip syariah. Maka, setiap unsur yang ada dalam bank syariah tentu berbeda dengan bank-bank konvensional.
Dalam pendirian bank syariah, hal utama yang dipikirkan adalah hukum. Maka, tidak sedikit hukum di Indonesia yang mengatur tentang bank syariah. Hukum tersebut berlaku sejak rencana pendirian hingga operasional bank syariah.
Kegiatan bank syariah harus berjalan sesuai dengan syariat Islam. Begitu banyak bank-bank syariah yang berdiri di Indonesia saat ini. Hingga pada akhirnya, manusia dituntut untuk mengetahui sistem kerja bank syariah, ketika inggin menggunakan jasa bank syariah.
Di dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang akad-akad syariah dalam sistem perbankan. Akad-akad tersebut yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional. Karena akad-akad tersebut menjadi bentuk-bentuk dasar persional bank syariah agar sesuai dengan syari’at Islam.
B.            Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan akad ?
2.      Apa sajakah rukun dan syarat akad?
3.      Apakah tujuan diadakannya akad?
4.      Apa sajakah macam-macam akad?
5.      Bagaimanakah penjelasan tentang akad Tabarru’?
6.      Bagaimanakah penjelasan tentang akad Tijarah?
C.           Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, dapat dirumuskan tujuan sebagai berikut :
1.      Mengetahui apa itu Akad,
2.      Mengetahui Rukun-rukun Akad,
3.      Mengetahui tujuan diadakannya Akad
4.      Mengetahui macam-macam Akad
5.      Mengetahui tentang Akad Tabarru’
6.      Mengetahui tentang Akad Tijarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Akad
Secara etimologi, akad berarti perikatan, perjanjian. Sedangkan pengertian akad secara terminologi adalah suatu perikatan yang ditetapkan dengn ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Istilah akad terdapat dalam Al-Qur’an, antara lain (Q.S. Al-Maidah : 1):
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4  
 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
                                                                
Dari pengertian tentang akad diatas, dapat diambil ketentuan hukum bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berarti mengikat bagi yang membuatnya. Karena setiap perjanjian pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Islam menganjurkan umatnya untuk memenuhi akad yang telah dibuat, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Untuk menghindari kelalaian dalam akad, seseorang dituntut agar memiliki kemauan yang kuat. Karena pada dasarnnya orang yang berjanji setia kepada sesama, sesungguhnya mereka telah berjanji setia kepada Allah SWT. Tangan Allah diatas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat pelanggaran janji itu akan menimpa dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar. [1]

B.            Rukun dan Syarat Akad
1.        Rukun Akad
Menurut pendapat jumhur, rukun-rukun akad terbagi menjadi :
a.         Al-Aqid merupakan subjek hukum yang menjalankan akad. Subjek hukum berarti perbuatan manusia yang dituntut oleh Allah berdasarkan hukum syara’.
b.         Sighat Al-‘Aqd merupakan ijab qabul yang diadakan untuk menunjukkan terjadinya akad (ijab kabul dalam akad).
c.         Mahallul ‘Aqd merupakan objek suatu perikatan. Sesuatu yang dapat dijadikan objek dalam akad ialah dapat berupa benda dan atau manfaat. [2]
2.        Syarat Akad
Syarat-syarat akad adalah sebagai berikut :
a.         Terjadinya Akad (In’iqad)
·           Ketentuan umum berupa persyaratan yang terdapat dalam rukun-rukun akad.
·           Ketentuan khusus berupa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi oleh suatu akad khusus.
b.         Keabsahan Akad (Shahih)
Suatu akad dinilai sah oleh syara’ kalau ada kesesuaian dengan rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh hukum syara’.
c.         Pelaksanaan Akad (Nafadz)
·           Kepemilikan sempurna dari seseorang terhadap barang atau manfaat yang dujadikan objek akad.
·           Kecakapan : kemampuan seseorang untuk melaksanakan akad, baik secara langsung maupun perwakilan.
d.        Kepastian Hukum (Luzum)
Suatu akad harus memililki kepastian hukum, sehingga tidak ada hak memilih (khiyar) untuk meneruskan atau membatalkan (fasakh). [3]
C.           Tujuan Akad
Tujuan akad (maudhu al-‘aqd) ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri. Ditinjau dari segi aqidah, yang menentukan keabsahan suatu akad merupakan niat sebenarnya tentang tujuan yang akan dicapai. Ketentuan ini berdasarkan pada kaidah hukum yang menegaskan bahwa segala sesuatu dinilai dengan apa yang menjadi tujuannya.
Kaidah ini merujuk kepada sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa : “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari pada niatnya. Dan setiap perbuatan seseorang akan dinilai sesuai dengan apa yang diniatkan.(H.R. Bukhari)”
Untuk menjamin tercapainya kemaslahatan serta menghindari kemudharatan, para fuqaha menegaskan bahwa semua perbuatan yang mengandung tujuan masyru’ (bertentangan dengan hukum syara’), sehingga meninggalkan kemudharatan, maka hukumnya haram. [4]

D.           Macam-Macam Akad
Dari segi ada atau tidaknya kompensasi, fikih muamalat membagi akad menjadi 2 (dua), yakni akad Tabarru’ dan akad Tijarah/Mu’awadah.[5]
1.        Akad Tabarru’[6]
Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Istilah Tabarru’ secara bahasa berarti kebaikan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah (Q.S. Al-Maidah : 2) :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
“....dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.....”

Pada hakekatnya, akad tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil.
2.        Akad Tijarah
Dalam fikh, usaha untuk mendapatkan keuntungan dikenal dengan istilah tijarah. Akad tijarah merupakan akad yang bertujuan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang telah ditetapkan oleh hukum syara’.
Dalam usaha untuk memudahkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip hukum terkait dengan akad tijarah yang terdapat dalam hukum perbankan, maka tijarah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a.      Pertukaran (Jual Beli) / Natural Certainty Contracts (NCC)
b.      Persekutuan / Natural Uncertainty Contracts (NUC) [7]

E.            Tentang Akad Tabarru
 Dalam akad tabarru’, pihak yang bertabarru’ tidak berhak menyaratkan imbalan apaun kepada pihak lain. Imbalan akad tabarru’ ialah berupa pahala dari Allah, bukan keuntungan dari manusia. Kerena itu, apabila tabarru’ diniatkan dan dilakukan dengan mengharapkan keuntungan dari menusia, maka akad tersebut bukan lagi tabarru’ melainkan tijarah.[8]
Pada bank syari’ah, akad tabarru’ dapat dijalankan melalui penerapan qardul hasan, yaitu suatu produk hukum yang memungkinkan bank syari’ah memberikan pinjaman kebaikan kepada orang yang sangat membutuhkan[9]. Selain itu, perbankan syari’ah juga dapat menjalankan fungsi tabarru’ melalui kegiatan infaq, shadaqah, zakat, dan lain-lain yang merupakan bagian dari amalan ibadah.
Akad tabarru’ mempunyai 3 (tiga) bentuk umum, yaitu :[10]
1.      Meminjamkan Uang (lending $)
Akad meminjamkan uang dibagi setidaknya menjadi 3 jenis, antara lain :
ü  Al-Qardh : pinjaman yang diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang.[11]
·         Landasan Syariah (Q.S. At-Taghabun : 17)
bÎ) (#qàÊ̍ø)è? ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym çmøÿÏ軟ÒムöNä3s9 öÏÿøótƒur öNä3s9 4 ......
“ jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. .....”

ü  Rahn : dalam meminjamkan uang ini si pemberi pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman.[12]
·         Landasan Syari’ah (Q.S. Al-Baqarah : 283)
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B .......  
“ jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang......”

ü  Hawalah : Suatu bentuk pemberian pinjaman uang yang bertujuan untuk mengambil alih piutang dari pihak lain.[13]
·         Landasan Syari’ah (Q.S. Al-Baqarah : 280)
bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ  
“ dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

2.      Meminjamkan Jasa Kita (lending yourself)
Akad meminjamkan jasa terbagi juga atas 3 (tiga) jenis, yakni :
ü Wakalah : Menyerahkan kekuasaan kepada orang lain untuk dikerjakan. Islam mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya[14]. Istilah wakalah terdapat dalam Q.S Ali-Imran : 173.
....... $uZç6ó¡ym ª!$# zN÷èÏRur ã@Å2uqø9$# ÇÊÐÌÈ  
“........ "Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung".”

ü Wadi’ah[15] : titipan murni yang setiap saat dapat dambil jika pemiliknya menghendaki.
·         Wadi’ah diatur dalam Al-Qur’an, diantaranya Q.S.An Nisa : 58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& .........  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.....”

·         Wadi’ah juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a.       Al-wadi’ah yad al-amanah (Trustee Depsitory) : jenis akad penitipan, dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang titipan.
b.      Al-wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository) : jenis akad penitipan, dimana pihak penerima titipan dapat menggunakan barang titipan.


ü Kafalah : menjadikan seseorang sebagai penjamin (kafil) dalam pelunasan atau pembayaran (hutang) yang menjadi tanggun jawab orang lain. Dengan kata lain, kafalah berarti jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang menjadi tanggungannya.[16]
Landasan Syari’ah (Q.S.Yusuf : 72)
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
72. penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
3.        Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut: hibah,waqf, shadaqah, hadiah, dll. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama, maka akadnya dinamakan waqf. Objek waqf ini tidak boleh diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
F.            Tentang Akad Tijarah
Dalam pemahaman terhadap akad tijarah, dibutuhkan alternatif tertentu untuk mempermudah pemahaman. Maka, akad tijarah tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, diantaranya :
1.      Teori Pertukaran / Natural Certainty Contracts (NCC)
Kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang dimilikinya, karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price), dan waktu penyerahannya (time of delivery). Teori pertukaran dibagi atas 2 kategori, antara lain adalah akad Jual Beli dan Sewa Menyewa :
v  Kategori Akad Jual Beli[17], terdiri atas beberapa akad. Akad-akad tersebut yaitu :
a.       Akad Murabahah : jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.                                     
b.      Akad Salam : jual beli barang berdasarkan pemesanan berdasarkan persyaratan dan kriteria tertentu sesuai kesepakatan dan pembayaran tunai yang dilakukan dimuka.
c.       Akad Istishna : jual beli barang dalam bentukpemesanan pembuatan barang berdasarka persyaratan tertentu, kriteria dan pola pembayaran ssesuai dengan kesepakatan. Dalam akad ini, kedua belah pihak bersepakat apakah pembayaran akan dilakukan dimuka, melalui angsuran, atau ditangguhkan sampai waktu tertentu yang akan datang.
d.      Akad Sharf : Jual beli antara barang sejenis secara tunai.
v  Kategori Akad Sewa Menyewa terdiri atas beberapa akad[18],, yakni :
a.       Akad Ijarah : transaksi sewa-menyewa atas suatu barang, atau transaksi upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.
·         Landasan Syariah Akad Ijarah (Q.S.At-Thalaaq : 6)
...... ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( .........
“..... kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya......”
b.      IMBT (Ijarah Muntahia Bittamlik) : ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk mengalihkan kepemilikan kepada penyewa.
c.       Akad Ju’alah[19] : imbalan tertentu yang diperoleh karena berjasa mengembalikan barang tertentu yang hilang.
·         Landasan Syariah (Q.S. Yusuf : 72)
........ `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
“....... dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

3.      Teori Persekutuan / Natural Uncertainty Contracts (NUC)
Pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya (baik real assets maupun financial assets) menjadi satu kesatuan, dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Di sini, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama.
Jenis-jenis teori persekutuan, antara lain Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah, Musaqah, dan Mukharabah.
v  Musyarakah[20]
Musyarakah merupakan bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nishbah yang disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha.
v  Landasan Syari’ah (Q.S. An- Nisaa’ : 12)
...... ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# .....
“...... Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, .....”

v  Mudharabah[21]
Mudharabah merupakan akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengelolan dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nishbah bagi hasil (keuntungan atau kerugian) menurut kesepakatan.
Kemudian apabila terjadi kerugian, resiko dana akan ditanggung oleh pemilik modal selama bukan kelalaian pihak pengelola. Namun apabila kerugian disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian pihak pengelola, maka mereka harus mempertanggungjawabkan atas kerugian tersebut.
v  Landasan Syari’ah (Q.S. Al-Baqarah : 198)
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ ........
“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu....... “

v  Akad Mudharabah dibagi menjadi 2, yaitu :
a.      Mudharabah Muthlaqah
Dalam prinsip ini, shahibul maal tidak dapat memberikan batasan-batasan terhadap dana yang diinvestasikan. Dengan demikian, mudharib diberi kewenangan penuh untuk mengelola dana tanpa keterkaitan.
b.      Mudharabah Muqayyadah
Dalam akad ini, shahibul maal memberikan batasan terhadap dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana sesuai dengan permintaan atau persyaratan pemilik modal yang dapat berupa jenis usaha, tempat dan waktu tertentu saja.
v  Muzara’ah[22]
Muzara’ah merupakan bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian dalam setahun.
v  Mukhabarah[23]
Mukhabarah merupakan bentuk kontrak bagi hasil yang diterapkan pada tanaman pertanian, namun bibitnya berasal dari pemilik tanah.
BAB III
PENUTUP
Ø   Kesimpulan
Dari makalah didepan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
·         Perbankan Syari’ah memiliki akad-akad yang dapat membedakannya dengan bank konvensional.
·         Akad dalam bank syari’ah sebagai dasar operasional agar sesuai syari’at Islam.
·         Bank syari’ah pada dasarnya memiliki dua Akad secara umun, yaitu akad Tabarru’ dan akad Tijarah
·         Akad Tabarru’ dan akad Tijarah juga terbagi lagi atas beberapa bagian yang lebih spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M. Syafi’i. . Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta : Taskia Cendikia
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan. Jakarta : Rajawali Pers.

Susanto, Burhanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta : UII Press.


[1] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.222-224
[2] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.224-232
[3] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.234-236
[4] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.237-238
[5] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.238
[6] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm.65
[7] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 68-70
[8] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 64
[9] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm. 260
[10]  Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm.66
[11] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.280
[12] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.278
[13] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.276-277
[14] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.274
[15] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : 2001), hlm. 148-150
[16] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.275-276
[17] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm.271-272
[18] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 73
[19] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm. 281
[20] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm. 268-269
[21] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : 2008), hlm. 265-267


[22] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm. 77







[23] Ir. Adiwarman Karim. S.E., M.B.A., M.A.E.P,, Bank Islam : Analisis Fikih dan Keuangan, (Jakarta : 2004), hlm.77








No comments:

Post a Comment